Suara langkah kaki mereka beradu dengan gerit roda besi. Helen berjalan perlahan, sedikit lebih lambat. Sesekali, bahkan, dia berhenti. Dia sengaja. Dengan begitu, dia bisa menjaga jarak dengan Ratna. Jarak yang bukan cuma dua meter fisik, tapi juga jarak batin antara ibu dan anak yang punya visi keuangan beda kutub.
“Ambil bahanmu, jangan hanya mengekor di belakang,” tegur Ratna, kesal. Helen tertawa geli. Wanita itu satu dua meter di depannya. Ratna merapikan kulkas, tempat bahan krim salon, seperti krim khusus creambath yang kini Helen ambil, lalu ia letak di keranjang kecil miliknya. Bagi Helen, ini semua bukan cuma kerja sampingan. Ini adalah bagian dari misi besar "Go Seratus Juta".
Helen bekerja sangat keras dibandingkan dengan teman sebayanya. Cara Helen berpikir juga tergolong lebih dewasa. Dia benar-benar sosok gadis sejuta mimpi. Atau lebih tepatnya, gadis dengan satu mimpi besar: punya uang banyak biar bisa kabur dari drama Among. Dari hasil gaji sebagai karyawan fotokopi, hasil penjualan es tebu, penjualan kosmetik, dan lainnya, Helen berhasil menabung jutaan rupiah di koperasi sekolah, membeli kambing kurban setiap tahun, membeli perhiasan emas, dan sebagainya. Demi uang, ia juga menyempatkan diri bekerja sebagai karyawan sisip di salon milik Ratna, ibunya. Tentu saja, Helen dibayar untuk itu. Di dunia Helen, semua pekerjaan itu adalah level up dalam game kehidupannya.
“Alhamdulillah, kemarin jual gelang emas, harganya sudah naik sekali,” celoteh pasien yang rambutnya sedang dipijat oleh Helen. Suaranya terdengar bahagia, seolah baru saja memenangkan lotre kecil.
“Oh, ya?” balas Ibu di sampingnya lagi yang juga sedang dipijat oleh karyawan Ratna. Dua ibu-ibu ini, bagi Helen, adalah live podcast tentang ekonomi dan kehidupan rumah tangga.
“Kenapa dijual, Bu? Kan sayang, lebih bagus ditunggu saja sampai nanti lebih mahal lagi,” ujar Helen menimpali. Insting bisnisnya langsung bekerja. Dia sudah belajar dari kasus Leonardo. Jangan pernah jual sesuatu kalau belum di puncak harga.
“Kamu ini masih anak kecil. Belum mengerti susahnya cari duit. Ibu juga gak akan jual kalau tidak mendesak,” jawab Ibu di depannya. Matanya melirik Helen dengan pandangan "kamu masih bau kencur, Dek". Helen cuma nyengir. Dia tahu betul bagaimana "susahnya cari duit" berkat Among.
“Krisis moneter ya, Bu?” Helen tertawa kecil melihat wajah Ibu itu bersungut-sungut. Dia sengaja memancing. Kenapa? Karena terkadang, menertawakan kenyataan pahit itu lebih baik daripada menangisinya.
“Ya, iyalah. Apalagi? Harga bahan pokok dan kebutuhan masyarakat melambung tinggi. Pekerjaan susah, makanya saya salut dengan mahasiswa-mahasiswa yang turun demo demi menyampaikan protes kita-kita ini yang sedang kesulitan dalam hal ekonomi.” Ibu itu mengangguk-angguk, seolah dia sendiri adalah salah satu mastermind di balik demo mahasiswa.
“Lah, ini Ibu ke salon. Kalau ekonomi seret, masa iya sempat ke salon?” protes Helen. Logikanya langsung menusuk. Kalau krisis, bukannya harusnya potong pengeluaran? Atau jangan-jangan, salon ini adalah tempat untuk healing dari krisis?
“Heh, kamu ini! Mau tahu saja urusan orang dewasa,” repet Ratna kemudian melotot ke arah Helen. Ratna tidak ingin pasiennya merasa tidak nyaman. Helen hanya menyengir tidak jelas. Dia tahu, kalau Mama sudah melotot begitu, artinya kode bahaya tingkat satu.
“Kamu punya kalung emas, tidak?” tanya Ibu itu kepada Helen dengan nada menantang. Mungkin dia berpikir Helen cuma bisa nyinyir.
“Punya dong, tapi tidak akan sudi saya jual dalam waktu dekat,” jawab Helen penuh percaya diri. Senyumnya lebar, seolah baru saja memenangkan lomba debat kusir. Ratna tersedak saat minum air putih bersamaan dengan berakhirnya kalimat Helen barusan.
Detak jantung Helen tiba-tiba berkejaran. Ada firasat aneh, seperti alarm bahaya yang tiba-tiba berbunyi di dalam kepalanya. Kenapa Mama sampai tersedak begitu? Ada apa? Ini bukan sekadar kecurigaan, ini adalah naluri survivor Helen yang sudah terlatih bertahun-tahun menghadapi Among. Hatinya mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak benar sedang terjadi di dalam rumah ini.
“Mama tidak apa-apa?” tanya Helen, suaranya sedikit tercekat. Dia menatap Ratna lekat. Ekspresi Ratna seperti orang yang baru saja ketahuan menyembunyikan bangkai tikus.
“Tidak apa-apa, kamu teruskan saja treatment itu. Mama mau ke kamar mandi dulu.” Mata Helen menunjukkan tatapan curiga, melihat itu, Ratna menjadi sangat gugup. Dia bahkan tidak berani menatap balik Helen.
“Ma,” panggil Helen lagi, kali ini nadanya lebih tegas. Dia ingin jawaban.
“Apa?” jawab Ratna menghindari mata Helen. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.