Ketika Ratna tiba di rumah setelah menyusul Chiyo ke sekolah, Among sudah berada duluan di sana. Wajahnya sekusut rambutnya. Ternyata sudah semalaman dia tidak tidur menunggu Chiyo yang tak kunjung pulang.
“Pergi sekolah dia, Dek?” tanya Among dengan wajah letih, tetapi bukan keletihan fisik yang menyiksanya. Among merasa sangat menderita didera rasa bersalah.
“Gak, Bang. Biarkan sajalah dia. Mungkin dia merasa lebih tenang berada di kios fotokopi dulu daripada sekolah,” jelas Ratna.
“Ayah macam apa aku ini, Dek?” keluh Among ketika Ratna menghampirinya dan menyentuh bahunya dengan lembut tanpa mengucapkan sepatah kata pun. “Bisa-bisanya aku tertipu berkali-kali dan merusak kepercayaan putriku sendiri….”
“Sudahlah, Bang,” desah Ratna dengan penyesalan yang sama. Dia menarik tangan Among dan mengajaknya duduk di sofa empuk yang belum lama ia perbaiki. “Bukan cuman Abang yang menyesal. Bukan cuma Abang yang salah. Kita berdua salah. Sudah tertipu daya oleh iming-iming menjadikan anak PNS tanpa lagi memakai logika.”
“Seharusnya dari awal aku jujur tentang rencana ini dan tidak menjual kalung emas anak kita.”
“Tapi bukannya sudah kuingatkan, Bang. Abang bilang gak usah,” tukas Ratna
“Iya, benar,” gumam Among menunduk.
“Aku bilang sudah jangan dipikirkan, Bang. Sikap Chiyo itu juga berlebihan. Mana cukup kalung emas itu saja yang dijual. Dia tidak tau ada uang kita juga yang sudah dikorbankan demi menjadikan dirinya PNS. Terlepas dari kenyataan bahwa ternyata semua itu hanya tipuan, dia tidak boleh seperti itu kepada orang tua.”
**
Ke esokan harinya, Chiyo masuk ke sekolah. Dia berjalan perlahan melewati gerbang dan sadar kalau kini semua mata sedang tertuju kepadanya. Beberapa diantaranya malah menertawakannya. Semua ini karena wajah Among menjadi cover majalah politik terkenal di negara ini.
Chiyo pura-pura tidak peduli, Dia fokus berjalan menuju kelas lalu duduk dengan tenang di bangkunya. Tidak ada teman di sampingnya. Beberapa menit kemudian, Maria datang menghampirinya. “Hey Chiyo, jangan bilang kamu belum melihat sampul majalah itu?”
“Sudah.”
“Jadi, apa tanggapanmu tentang itu?”
“Tidak ada.”
“Apa kamu tidak malu dengan tingkah laku ayahmu,” dengus Maria dengan napas memburu. Matanya yang memang berukuran king size membulat seperti bola golf. Untung tidak ada klab di sana.
“Aku tidak perlu menjawab setiap pertanyaanmu!” balas Chiyo santai.
Maria tidak terkejut menyambut ucapan dan sikap Chiyo. Mengabaikan pertanyaan adalah keahlian Chiyo yang sudah bertahun-tahun menjadi temannya, sikap itu sudah tidak membuatnya mundur lagi. Maria tahu harus mengeluarkan kalimat apa kali ini.
“Kamu sadar gak, Chiyo. Toko yang dijarah ayahmu itu adalah toko kakekku. Sebegitu tidak tahu terima kasihkah kalian sudah diberi pekerjaan oleh keluarga kami?”
“Cukup, Maria.”
“Oh iya benar, yang salah adalah ayahmu bukan kamu. Tapi, kalau aku punya ayah bodoh seperti Among, pasti sejak lama aku sudah bunuh diri.”
“Diam!” pekik Chiyo, melempar air mineral yang sedang dipegangnya ke wajah Maria.