Ketika Ratna tiba di rumah setelah menyusul Helen ke sekolah, Among sudah berada duluan di sana. Wajahnya sekusut rambutnya. Ternyata sudah semalaman dia tidak tidur menunggu Helen yang tak kunjung pulang. Mungkin dia mikir, kalau Helen hilang, investasi apa lagi yang bisa dijual tanpa sepengetahuan anaknya?
“Pergi sekolah dia, Dek?” tanya Among dengan wajah letih. Bukan cuma letih fisik, tapi juga letih batin. Among merasa sangat menderita didera rasa bersalah. Atau mungkin, dia lelah karena harus mikir alasan baru.
“Gak, Bang. Biarkan sajalah dia. Mungkin dia merasa lebih tenang berada di kios fotokopi daripada sekolah,” jelas Ratna. Kios fotokopi sekarang jadi semacam posko pengungsian mental buat Helen.
“Ayah macam apa aku ini, Dek?” keluh Among ketika Ratna menghampirinya dan menyentuh bahunya dengan lembut tanpa mengucapkan sepatah kata pun. “Bisa-bisanya aku tertipu berkali-kali dan merusak kepercayaan putriku sendiri….”
“Sudahlah, Bang,” desah Ratna dengan penyesalan yang sama. Dia menarik tangan Among dan mengajaknya duduk di sofa empuk yang baru ia beli. “Bukan cuma Abang yang menyesal. Bukan cuma Abang yang salah. Kita berdua salah. Sudah tertipu daya oleh iming-iming menjadikan anak PNS tanpa lagi memakai logika.” Mereka berdua sepertinya perlu ikut seminar "Bijak Berinvestasi: Antara Logika dan Fantasi".
“Seharusnya dari awal aku jujur tentang rencana ini dan tidak menjual kalung emas anak kita.” Among menunduk, diselimuti rasa bersalah yang mungkin hanya bertahan sampai ide investasi berikutnya muncul.
“Tapi bukannya sudah kuingatkan, Bang. Abang bilang enggak usah.” Ratna mengingatkan, seolah berkata, "Kan sudah kubilang, Bang, jangan ngeyel!"
“Iya, benar.” Among mengangguk. Dia tahu dia salah, tapi mungkin sudah takdirnya untuk terus salah.
“Aku bilang sudah jangan dipikirkan, Bang. Sikap Helen itu juga berlebihan. Mana cukup, kalung emas itu saja yang dijual. Dia tidak tahu ada uang kita juga yang sudah dikorbankan demi menjadikan dirinya PNS. Terlepas dari kenyataan bahwa ternyata semua itu hanya tipuan, dia tidak boleh seperti itu kepada orang tua,” ujar Ratna mencoba meringankan rasa bersalah yang sedang dipikul Among. Ratna ini kadang suka jadi public relation dadakan untuk Among, meski reputasi Among sudah hancur lebur.
**
Keesokan harinya, Helen masuk ke sekolah. Dia berjalan perlahan melewati gerbang dan sadar kalau kini semua mata sedang tertuju kepadanya. Beberapa di antaranya malah menertawakannya. Semua ini karena wajah Among menjadi cover majalah politik terkenal di negara ini. Helen merasa seperti selebriti yang ketahuan skandal, padahal yang skandal ayahnya.
Helen pura-pura tidak peduli. Dia fokus berjalan menuju kelas, lalu duduk dengan tenang di bangkunya. Tidak ada teman di sampingnya. Mereka semua mungkin lagi sibuk bergosip tentang berita "Among Penjarah" atau semacamnya. Beberapa menit kemudian, Maria datang menghampirinya. “Hey, Helen, jangan bilang kamu belum melihat sampul majalah itu?”
“Sudah.” Helen menjawab singkat, padat, dan ingin segera menghilang.
“Jadi, apa tanggapanmu tentang itu?” Maria ini sepertinya belum puas kalau belum melihat Helen meledak.
“Tidak ada.” Helen menatap Maria datar.
“Apa kamu tidak malu dengan tingkah laku Ayahmu?” dengus Maria dengan napas memburu. Matanya yang memang berukuran king size membulat seperti bola golf. Untung tidak ada stik golf di sana. Maria, sang pembawa berita gosip paling up-to-date sekaligus provokator kelas kakap.
“Aku tidak perlu menjawab setiap pertanyaanmu!” balas Helen santai, mencoba menunjukkan bahwa dia sudah kebal damage.
Maria tidak terkejut menyambut ucapan dan sikap Helen. Mengabaikan pertanyaan adalah keahlian Helen yang sudah bertahun-tahun menjadi temannya. Sikap itu sudah tidak membuatnya mundur lagi. Maria tahu harus mengeluarkan kalimat apa kali ini. Ini seperti duel, dan Maria sudah punya jurus pamungkasnya.
“Kamu sadar enggak, Helen. Toko yang dijarah Ayahmu itu adalah toko Kakekku. Sebegitu tidak tahu terima kasihkah kalian sudah diberi pekerjaan oleh keluarga kami?” Maria mengatakannya dengan nada yang penuh drama, seolah Helen yang pribadi yang menjarah tokonya.