Hingga lima belas menit sebelum tepat pukul dua belas malam, Antares sudah mulai terkantuk-kantuk. Kelopak matanya terasa berat menunggu Narendra yang tak kunjung memberitahunya.
“Na, bagaimana caranya?” tanya Antares diselingi kuapan.
“Sebentar lagi. Tadi aku sudah memeriksa keadaan, paman dan bibi sudah tertidur, kita aman.”
“Memangnya apa yang akan kita lakukan?”
“Kita harus pergi ke hutan. Ayo, buka jendelanya.”
Antares menuruti ucapan Narendra. Sosok yang lebih tua lantas melayang keluar melalui jendela, diikuti Antares yang mengekor di belakangnya. Kamar Antares berada di lantai dasar, aman-aman saja bila harus melompat keluar.
“Ikuti aku.”
Antares melompati pagar kayu pendek yang membatasi wilayah rumahnya dengan wilayah hutan, mengikuti Narendra yang telah lebih dulu melayang masuk ke dalam hutan di belakang rumahnya. Rasa kantuk yang tadi hinggap berganti antusiasme yang kini menyelubungi Antares. Sekelilingnya hanya berupa pohon, pohon, dan pohon. Beruntung saat ini bukan musim hujan, Antares tidak perlu merasakan kaki telanjangnya menjejak genangan lumpur dan tanah yang licin bercampur air.
Antares mendongakkan kepalanya, berharap kumpulan bintang dan sang rembulan yang menyapa. Namun nihil, netranya disambut langit mendung. Antares mulai murung.
“Na, langitnya gelap. Bagaimana kita bisa terbang dan melihat bintang?” ia bertanya, raut wajahnya sendu.
“Tunggu saja, Ares. Bintangnya akan terlihat dari atas nanti.”