Istirahat pertama pun tiba. Begitu Pak Arnold keluar kelas, hampir semua siswi berlomba menghampiri tempat duduk Kenzo, si murid pindahan. Mereka tampak ricuh sekali. Jian yang melihatnya hanya mengernyit pertanda heran.
"Cih! Apa-apaan mereka itu?" gumamnya.
"Jian, ayo kita kesana." ajak Ayu pula.
"Heh? Untuk apa? Buang-buang waktu saja. Aku mau keluar."
"Hei, jangan begitu. Setidaknya kau menyapa teman baru kita sebagai tanda perkenalan. Lagipula dia sangat tampan, apa kau tidak tertarik, huh? Lihatlah teman-teman kita sudah mulai berlomba-lomba mendapatkan perhatiannya."
"Tidak, terima kasih. Lagipula aku sudah kenal di atap tadi malam."
"Huh?"
Jian tak menjawab lagi melainkan langsung beranjak keluar kelas.
"Hei! Jian, apa maksudmu?" seru Ayu, tapi Jian tak menanggapinya sama sekali.
Ayu hanya mendengus, lantas ikut berkerumun dengan para siswi lainnya di bangku milik Kenzo.
Sementara itu Jian berjalan tanpa semangat menyusuri koridor. Wajahnya tampak kusut sekali seperti tak terurus. Ia berjalan menuju lapangan basket. Di sana ia melihat beberapa orang siswa tengah bermain basket.
Namun yang menarik perhatiannya adalah tak jauh dari lapangan basket itu tampak 4 orang siswa sedang berkumpul. The Jackals. Jian tersenyum remeh melihatnya, teringat dengan kejadian kemarin.
"Cih! Dasar kumpulan lelaki lemah. Begitu saja pakai membuat sebuah kelompok segala." gumamnya geli.
"Heh! Jian!"
Jian sedikit terkejut mendengarnya. Ia pun menoleh. Mukanya berubah seketika.
Yulia.
"Ada apa?" sahutnya malas.
"Kau tampak kacau sekali. Apa kau sedang patah hati?" tanya Yulia dengan nada menyindir.
"Tidak. Aku memang akan tampak kacau setiap kali ada orang gila yang mengajakku bicara."
"Hei, apa maksudmu, huh?"
"Kau gadis pintar, bukan? Tentunya kau mengerti maksudku."
"Kau—"
"Sudahlah. Aku tak mau jadi bertambah kacau lagi." sela Jian sambil beranjak.
"Hei! Kau!" Yulia menarik lengan Jian tiba-tiba dengan kasar.
Jian masih mencoba bersikap tenang, walaupun lengannya terasa sakit.
"Kau pikir kau hebat, huh? Jian, dengar. Gilang adalah lelaki yang diciptakan hanya untukku. Jadi jangan pernah bermimpi kau akan bisa bersamanya. Mengerti?"
Jian tersenyum remeh mendengarnya, lalu dengan gerakan cepat ia balik: memutar lengan Yulia dan memelintirnya ke belakang.
"Akh, lepaskan!" teriak Yulia kesakitan.
"Dengar, gadis gila. Aku bisa saja membuat wajahmu yang mulus itu menjadi cacat dalam waktu singkat. Jadi jangan sekali-kali kau mencoba mengancamku. Mengerti?"
Yulia tak menjawab. Ia tampak kesakitan karena Jian memelintir tangannya cukup keras.
"Jian! Apa yang kau lakukan?"
Jian menoleh terkejut mendengarnya.
"K-Kak Gilang?" ucapnya begitu melihat Gilang sudah berada di sana.
"Gilang, lihatlah, dia berbuat kasar terhadapku.. Akh, tanganku sakit sekali.." rengek Yulia mulai memasang wajah memelas.
Jian kesal bukan main melihatnya bersandiwara seperti itu.
"Jian, tolong lepaskan dia.." pinta Gilang kemudian.
Mau tak mau Jian pun terpaksa melepaskan tangan Yulia. Napasnya mulai naik turun.
"Jian, kenapa kau jadi seperti ini?" tanya Gilang.
Jian diam saja tak menjawab.
"Aku tahu kau masih marah padaku. Tapi itu bukan berarti kau harus menyakiti Yulia seperti itu.."
"Apa? Jadi kau pikir aku yang salah?" tanya Jian.
"Bukan begitu.. Tapi seharusnya kau tidak berbuat kasar terhadapnya.."
"Tapi dia yang memulainya—"
"Bohong, itu tidak benar! Dia yang memulai lebih dulu. Gilang, kau tadi lihat sendiri bukan? Lihatlah, tanganku jadi memar begini.. Akh.." Yulia memotong ucapan Jian dan kembali berpura-pura meringis kesakitan, membuat Jian semakin kesal melihatnya.
"Hei! Kau gadis lampir! Kenapa kau pandai sekali memutar balikkan fakta? Rupanya kau benar-benar ingin kupukul, ya?" Jian bergerak menghampiri Yulia. Tapi Gilang menghalanginya.
"Jian, cukup. Astaga, kenapa kau berubah seperti ini? Aku tidak menyangka kau bisa berbuat kasar begini.." kata Gilang.
Jian tertegun mendengarnya. Hatinya terasa sakit sekali. Bahkan berkali-kali lipat lebih sakit dibanding saat melihat mereka berdua berpelukan di dalam toilet kemarin.
"Ternyata kau lebih membela dia daripada aku.." katanya lirih.
"Jian, bukan begitu—"
"Ya, baiklah, aku mengerti.. Tidak masalah." Kata Jian, lalu perlahan beranjak pergi.