"Oi! Kenapa penampilanmu berantakan begitu? Seperti habis berkelahi saja." Yoseph, lelaki yang memiliki darah yang sama dengan Jian itu memasang wajah heran miliknya begitu mendapati adiknya yang langsung menghempaskan diri di atas sofa.
"Memang benar." sahut Jian acuh.
"Apa? Maksudmu kau baru saja berkelahi?"
"Begitulah."
"Hei! aku sedang tidak bercanda!"
"Kakak pikir aku bercanda?"
"Jadi benar kau baru saja berkelahi?"
"Ck! Sudahlah, Kak. Suasana hatiku sedang tidak enak hari ini. jangan ganggu aku dulu. Aku mau tidur."
Yoseph hanya mampu tercengang melihat Jian yang berlalu pergi begitu saja menuju kamarnya. Namun tanpa disangka gadis itu berbalik kembali dan berkata,
"Ngomong-ngomong, apa dulu Kakak bermusuhan dengan The Jackals?"
"Apa? Bagaimana kau bisa tahu?"
"Tadi aku berkelahi dengan mereka."
"APA?"
Belum sempat Yoseph bertanya lagi, Jian sudah beranjak masuk ke dalam kamarnya, mengabaikan Kakaknya yang terus berseru memanggilnya.
"Hei! Bagaimana kau bisa berkelahi dengan mereka? Hei! Jian!"
***
Jian baru saja selesai makan malam ketika tiba-tiba ponselnya bergetar.
Gilang is calling.
Jian merotasikan bola mata melihatnya. Tentu saja hatinya masih sakit gara-gara kejadian tadi sore. Dengan geram ia pun menekan tombol reject. Tak disangka, rupanya Gilang tak menyerah. Lelaki itu terus saja menelepon, meski Jian terus menekan tombol reject.
Rasakan itu! Seenaknya saja mempermainkanku seperti ini. Memangnya dia pikir aku ini boneka? Cih! Awas saja kau Yulia! Tunggu pembalasanku nanti! Dasar gadis pelakor!
BRAK!!
"Oh tidak, ponselku!" seru Jian panik karena tanpa sadar telah membanting ponselnya ke lantai.
Tentu saja benda berukuran persegi panjang itu langsung berubah menjadi kepingan benda tak berharga lagi.
"Astaga! Kenapa bisa begini? Bagaimana ini? Tamatlah riwayatku!" gadis itu berusaha menyatukan kembali sisa kepingan ponselnya itu meski berakhir sia-sia.
"Aaargh! Bodoh! Ini semua gara-gara gadis lampir itu! Sial!!" akhirnya dengan kesal ia pun melemparkan kepingan hp itu keluar jendela kamarnya.
Napasnya naik turun. Ia benar-benar marah dan kesal bukan main. Masih teringat dengan jelas bagaimana Gilang berpelukan dengan Yulia tadi sore. Padahal setahunya Gilang adalah lelaki yang setia. Ia benar-benar tidak habis pikir bahwa ternyata ia pun sama dengan lelaki yang lain.
Jian meremas rambutnya dengan kesal. Gadis itu melangkah keluar menuju balkon kamarnya lantas merangkak naik ke atap rumahnya, kebiasaannya jika ia merasa jenuh. Begitu sampai di atap, gadis itu merebahkan tubuhnya sambil memandang langit malam.
"Hei, bulan! Alangkah enaknya menjadi dirimu. Setiap malam selalu dikelilingi oleh bintang-bintang yang selalu setia menemanimu. Sementara aku, baru saja aku mendapatkan seorang lelaki yang kucintai, tapi dia sudah pergi meninggalkanku bersama gadis lain. Hahh.. Bukankah aku ini menyedihkan, huh? Aku ingin sekali menjadi sepertimu. Hei, bagaimana kalau kita tukar tempat? Apa kau mau?" ucap Jian seorang diri sambil menatap rembulan yang kini menyinari tubuh dan sekitarnya itu.
"Baru kali ini aku melihat ada orang bicara pada benda mati."
Jian tersentak mendengarnya. Secepat kilat ia menoleh. Didapatinya seorang lelaki kini tengah berada di atap rumah yang berjarak hanya sekitar 2 meter dari rumahnya, sama seperti dirinya.
"Siapa kau?" tanya Jian heran, merasa asing dengan lelaki tersebut.
Lelaki itu tak segera menjawab,
"Hei, apa kau maling?" kata Jian lagi. Ia mulai waspada.
"Enak saja. Aku tinggal di rumah ini." sahut lelaki itu pula.
"Jangan bohong! Setahuku anak Om Donny sekarang berada di Amerika."
"Aku baru sampai di rumah tadi pagi."
"Benarkah?"
"Kalau kau tidak percaya tanyakan saja sendiri."
Jian tak menyahut. Ia terus memandangi lelaki yang kini tiduran di atap rumahnya itu. Karena tak mendapat respon lagi, akhirnya ia pun kembali merebahkan dirinya seperti semula.
"Kau— baru diputuskan kekasihmu, ya?" suara lelaki asing itu kembali terdengar.
"Tidak, aku yang memutuskannya."
"Kenapa? Apa karena dia selingkuh?"
"Bukan urusanmu."
"Aku hanya ingin tahu."
"Aku tak ingin memberitahu."
"Kenapa?"
"Karena itu memang bukan urusanmu dan aku tak mengenalmu."