Amor Est Poena

Mizan Publishing
Chapter #1

Prolog

Berulang-ulang kau menyakitiku, tetap tidak akan mengurangi rasa cintaku padamu.

Apakah kamu tahu bagaimana rasanya jatuh cinta?

Perasaan yang mampu membuat seorang pemurung menjadi lebih ceria. Yang tadinya cuek berubah jadi lebih perhatian. Yang biasanya hanya memikirkan diri sendiri, berubah menjadi memikirkan orang lain. Cinta membuat dunia seseorang berubah menjadi lebih indah. Namun, cinta juga yang membuat manusia menjadi bodoh. Karena terkadang ketulusan dan kebodohan memiliki makna yang serupa.

Hal itulah yang dirasakan Fara Angelic. Gadis remaja berambut hitam panjang sepundak yang dia biarkan tergerai seadanya. Penampilannya sangat sederhana, tidak seperti siswi lain yang rela bangun pagi hanya untuk sekadar memoles make up dan menata rambut agar terlihat menawan di sekolah. Meskipun begitu, tidak sedikit siswa yang diam-diam mengagumi kecantikan alami gadis itu.

Fara meraih tas ranselnya dan mengeluarkan sebuah kotak bekal. Senyum di bibirnya mengembang, mengingat untuk siapa dia bersusah payah membuat bekal itu tadi pagi. Semua rela Fara lakukan hanya untuk lelaki itu. Lelaki yang berhasil menyinggahi tempat istimewa jauh di dalam lubuk hatinya. Fara memejamkan mata sesaat sebelum akhirnya bangkit berdiri dari bangkunya dan melangkahkan kaki keluar kelas. Bel istirahat baru berbunyi sekitar lima menit yang lalu. Siang ini koridor kelas terlihat sepi karena sebagian besar murid memilih menghabiskan waktu di kantin sekolah.

Masih dengan senyum di bibir, Fara berjalan sendirian menyusuri lorong kelas dengan kedua tangan memeluk erat kotak bekalnya. Langkahnya terhenti saat melihat sosok yang dicarinya sedang tertawa mendengar gurauan dari temantemannya. Jantung Fara seolah-olah berhenti berdetak melihat tawa lelaki itu. Hatinya terasa ringan, dia ikut bahagia hanya dengan melihat lelaki itu bahagia.

Fara menarik napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan, berusaha menenangkan debaran jantung yang semakin menjadi ketika langkahnya semakin dekat dengan sekumpulan siswa di ujung koridor itu. Setelah mengumpulkan tekad dan keberanian, Fara mempercepat langkah dan berdiri tepat di hadapan mereka.

“Will ...,”

Cowok bernama Willy itu hanya melirik sekilas dan memutar bola matanya malas. “Mau apa lo?”

Fara mengulum bibir berusaha menyembunyikan senyum bahagia hanya karena mendapat respons dari lelaki itu. Dengan malu-malu Fara menyerahkan kotak bekalnya pada Willy. “Ini buat lo, gue masak se—”

Brak!

Tubuh Fara membeku melihat bekal buatannya jatuh berantakan di lantai akibat ulah Willy.

Semua temannya bergeming melihat adegan itu, bahkan mereka menatap iba ke arah Fara yang menunduk dengan kedua mata mulai berkaca-kaca. Kecuali Willy Alexander.

Tidak ada penyesalan atau rasa kasihan, dia justru terangterangan menatap Fara dengan benci. “Makasih makanannya. Enak banget, lho, asli,” ucap Willy sarkastis dengan bibir tersenyum miring seolah-olah mengejek.

Fara menggigit bibir menahan agar air matanya tidak menetes. Melihat Fara masih terdiam di tempat, Willy berdecak tak sabar. “Sampe kapan mau berdiri di situ? Gue enek lihat muka lo!”

“Hahaha.” Banyak siswi menertawai Fara, tetapi tak sedikit juga yang merasa kasihan dan berpendapat bahwa sikap Willy keterlaluan. Fara memungut kembali tempat bekal yang jatuh berserakan di lantai, kemudian berjalan menunduk menyembunyikan wajahnya yang berlinang air mata. Meskipun ini menyakitkan, tetap saja Fara tidak bisa menghapuskan perasaan itu. Fara mengusap air matanya dengan punggung tangan sambil bergumam pelan, “Apa pun yang lo lakuin, gue tetep sayang sama lo Will.”

***

2017

Malam ini rintik air hujan mengguyur deras kota Jakarta, membuat sebagian orang terpaksa berhenti beraktivitas dan memilih untuk berteduh. Seperti halnya keempat gadis itu, yang memutuskan mengunjungi sebuah kafe, memesan beberapa dessert dan minuman hangat selagi menunggu hujan reda.

“Gue benci hujan,” keluh Sally seraya menyesap secangkir cokelat hangat. Gadis berwajah oriental itu terus mengeluh sambil sesekali merapikan poni ala Dora yang menutup keningnya.

Fani memutar bola matanya malas. “Lo udah ngulang kata-kata itu jutaan kali sampai gue bosen.”

Sally membuka mulut hendak membalas ucapan Fani, tapi bibirnya kembali terkatup rapat saat melihat ekspresi mengancam sahabatnya itu.

“Jadi, mulai besok CEO perusahaan lo ganti, Ra?” tanya Lisa pada gadis berambut sebahu yang sejak tadi lebih banyak diam.

Fara menghela napas dengan sebelah tangan sibuk menusuk sepotong cheese cake tanpa berniat memakannya. “Iya.”

Melihat respons Fara, ketiga temannya saling bertukar pandang dengan tatapan heran. Fara bukanlah gadis yang mudah terlihat murung jika masalah yang dia alami tidak benar-benar memberatkannya.

Merasa diperhatikan, Fara mendongakkan kepala. Agak tertegun mendapati ketiga sahabatnya kompak menatap curiga ke arahnya.

“Apa?”

Fani mencondongkan wajah, kedua matanya menyipit curiga, “Kok, lo murung gitu?”

“Lo lagi ada masalah?” tanya Lisa

“Lo gak bawa duit buat bayar? Pinjem gue dulu nggak apa—”

Pletak!

Sally mendapat dua jitakan serempak dari Lisa dan Fani membuat gadis itu meringis kesakitan.

“Lo tahu? Apa yang kalian lakuin ke gue itu jahat!” ucap Sally dengan nada drama queen andalannya.

Fara, Lisa, dan Fani hanya bisa menggeleng menanggapi tingkah Sally. Padahal sekarang gadis itu sudah berumur 24 tahun, tetapi sikapnya masih tidak berubah seperti saat SMA dulu, selalu jadi ‘korban sinetron’. Tidak hanya itu, di antara mereka berempat dialah yang paling kudet dan kadang tidak nyambung jika diajak berbicara.

“Jadi, apa yang bikin lo murung?” tanya Lisa mengalihkan pembicaraan tanpa mengindahkan Sally yang mengomel karena tidak mendapat respons.

Fara terdiam sejenak, berusaha meyakinkan diri bahwa ketiga sahabatnya harus tahu apa yang sedang membebani hatinya saat ini. Meskipun sebenarnya topik tersebut sangat ingin Fara hindari sebisa mungkin. Tapi percuma, dia terus menyembunyikan semua itu, tetap saja kenyataan tidak akan pernah berubah.

Fara mengembuskan napas penatnya. “Lo inget Willy?”

Ketiga temannya mengangguk serempak mendengar nama itu. Bagaimana mungkin mereka tidak ingat. Ketiga sahabatnya itu sudah mengenal Fara sejak SMA sehingga mereka tahu masa lalu Fara dengan sangat baik.

“Dia ...,” Fara menggantungkan ucapannya, memejamkan mata seolah-olah tidak sanggup melanjutkan ucapannya.

Refleks Lisa, Fani, dan Sally merapatkan diri mendekat penasaran dengan ucapan Fara.

“Dia?” tanya Sally mulai tidak sabar.

“Dia CEO baru gue.”

***

Fara berlari kecil dari parkiran menuju pintu utama kantornya. Dia merutuk dalam hati, menyalahkan dirinya sendiri karena bangun kesiangan, semua itu terjadi karena Willy Alexander. Hanya dengan mendengar namanya mampu membuat Fara gelisah dan baru bisa tertidur sekitar pukul empat dini hari. Bagaimana mungkin setelah sekian lama tidak bertemu, sekarang dia harus bekerja di bawah pimpinan pria itu.

Fara belum siap untuk bertemu dengan Willy, dia bingung harus bersikap bagaimana jika bertatapan dengan Willy. Fara terlalu malu untuk kembali memperlihatkan wajah di depan Willy karena masa lalunya yang terbilang cukup memalukan. Rasanya tidak jauh berbeda dengan bertemu mantan pacar.

Hari ini adalah acara peresmian serah terima jabatan kepada CEO baru yang tidak lain adalah Willy Alexander, cucu pemilik perusahaan ini. Dengan langkah mengendapendap, Fara masuk ke ruangan tempat acara berlangsung. Dia berjalan agak menunduk agar tidak seorang pun tahu keterlambatannya. Acara peresmian sudah berlangsung sejak satu jam yang lalu, saat ini semua pegawai dan juga tamu undangan penting sedang mengobrol dan menikmati hidangan yang ada.

Kedua bola mata Fara terlalu sibuk mengawasi meja tempat atasannya berada tanpa menyadari ada seorang pria berdiri tak jauh darinya.

Bruk!

Tidak sengaja kepala Fara menyundul sesuatu yang tidak terlalu keras sehingga tidak ada kesakitan karena benturan tadi. Refleks Fara meraba apa yang ditabraknya barusan dengan kedua mata yang masih sibuk mengawasi keadaan sekitar.

Fara mengerutkan kening, merasa asing dengan sesuatu yang ditabraknya tadi. Kok, empuk?

Lihat selengkapnya