Amor Est Poena

Mizan Publishing
Chapter #2

1

Jika luka itu bisa membuatmu bahagia. Aku rela melukai diriku sendiri. Jika tidak memiliki perasaan padamu bisa membuat kita sedekat ini, aku rela membunuh perasaan itu.

Siang ini, Fara dan Naura berjalan bersama menuju kafetaria yang terletak di lantai satu. Beberapa pasang mata tampak berbisik-bisik saat Fara dan Naura mulai memasuki tempat itu.

"Na, memangnya ada cabe nyelip di gigi gue?"

Naura menoleh mengamati sederet gigi putih Fara. ”Nggak ada tuh.”

“Terus kenapa semua orang liatin gue?”

Naura terkekeh geli melihat ekspresi bingung Fara, "Lo nggak tahu? Semua orang iri sama lo."

Fara menaikkan kedua alisnya bingung, "Hah? Ngapain iri sama gue?"

"Mereka iri lo bisa kerja sedekat itu sama Pak Willy. CEO ganteng, muda, jomblo lagi. Huhu ... pacar-able banget."

Fara mengembuskan napas kasar menahan diri untuk tidak menyentil kening Naura. Dia hampir saja lupa, semua pegawai perempuan di kantor ini pasti terpesona dengan ketampanan seorang Willy Alexander. Dulu dia juga pernah jatuh dalam pesona lelaki itu, tapi karena takdir tak mengizinkan perasaannya terbalas, dia memilih untuk membuang semua kenangan itu dan melupakan bahwa dia pernah memberikan hatinya kepada pria itu.

"Woy, bengong aja lo!"

Fara tersentak saat jari tangan Naura bergerak-gerak di depan wajahnya, hampir saja mencolok kedua matanya jika dia tidak refleks menghindar. Fara berdecak kesal. "Lo mau bikin gue buta?"

“Salah sendiri ngelamun. Lo pikir enak dicuekin?" ucap Naura kesal.

Fara meringis kecil, merasa bersalah melihat Naura mencebikkan bibirnya kesal. Bukan hanya Naura, bahkan ketiga sahabatnya juga sering protes karena beberapa hari ini Fara lebih sering melamun dan tidak mendengarkan obrolan mereka.

Tiba-tiba, suasana kantin menjadi riuh dan terdengar teriakan memuja dari semua wanita yang ada di kantin itu, kecuali Fara. Fara memutar kedua bola matanya malas mengetahui siapa yang baru saja datang dan membuat kantin menjadi riuh.

Lelaki itu tampak mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan, tatapannya terhenti saat menemukan sosok yang

dicarinya. Seulas senyum terukir di bibirnya, tanpa membuang waktu Nando mendekat, melangkah dengan santai dan menarik kursi duduk di samping Fara.

"Hai, Angel."

Suasana kantin semakin riuh mendengar suara maskulin Nando, berbeda dengan Fara yang terdiam menahan diri untuk tidak menusukkan garpu ke wajah pria itu.

"Ngapain Bapak di sini?" ketus Fara, Nando tidak memedulikan Fara yang terlihat tidak senang dengan kehadirannya. Dengan santai, dia menempatkan diri duduk di samping Fara yang membuat gadis itu berdecak sebal.

"Angel, sudah berapa kali saya bilang jangan panggil saya Bapak?”

"Bapak, sudah berapa kali saya bilang jangan panggil saya Angel?" Fara membeo nada suara Nando saat mengucapkan pertanyaan itu.

Nando tersenyum menyadari Fara benar-benar tidak suka dengan caranya memanggilnya. Mau seberapa juteknya Fara, tetap saja semua itu terlihat menggemaskan di mata Nando. Seperti saat ini, diam-diam Nando sedang menahan diri untuk tidak mencubit gemas kedua pipi Fara.

"Oke, Fara, jadi jangan panggil saya Bapak, panggil saja Nando atau Nan atau do atau Sayang juga boleh, tapi jujur saya takut baper."

Fara mengernyitkan dahinya mendengar ucapan Nando. Tingkah pria ini sangat berbanding terbalik dengan penampilan luarnya. Dari luar, dia tampak berwibawa dengan setelan jas formal yang membuat semua orang segan. Namun, jika dia mulai berbicara, hancur sudah semua image yang tampak dari penampilannya.

"Terserah Bap—Nando."

Mendengar itu, tanpa sadar seulas senyum terukir di bibir Nando. Hanya sekadar mendengar Fara menyebut namanya, dia merasa bahagia. Mungkin benar dugaannya, dia memang telah jatuh hati dengan gadis di sampingnya itu.

"Jadi lo sekretaris Willy?" kata Nando tanpa nada formal seperti biasa. Pertanyaan basa-basi karena Nando telah mengetahui semua biodata dan jabatan pekerjaan Fara di kantor itu.

Fara sempat tertegun mendengar panggilan 'lo-gue' yang lebih berkesan santai. Dia masih merasa canggung jika memanggil Nando dengan panggilan santai karena bagaimanapun pria itu terlihat lebih tua darinya.

"Iya, saya sekretaris Willy."

Nando berdecak pelan, "Ra, santai aja sama gue, nggak perlu terlalu formal. Anggap aja temen sendiri. Kalo mau anggep pacar, gue juga nggak keberatan."

Fara memutar bola matanya malas menanggapi sikap Nando yang selalu merayu seperti ABG labil. Tipe seperti Nando ini yang paling dihindari oleh Fara. Melihat bagaimana Nando mudah akrab dan merayu, Fara yakin pria ini masuk dalam salah satu spesies buaya darat.

"Oke, jadi mau lo apa ke sini?" tanya Fara

"Gue kangen sama lo, ya, jadi gue dateng ke sini,” ucap Nando tanpa beban.

Terdengar protesan kecil dari beberapa pegawai wanita di kantin itu. Namun, tak sedikit yang mendukung keserasian mereka termasuk Naura yang menatap Fara dan Nando dengan senyum menggoda.

"Ehem, gue jadi kacang berapa kali hari ini?" ucap Naura dengan nada sindiran membuat Nando menoleh ke arahnya dengan bibir meringis kecil.

"Sorry, kenalin gue Nando,” Nando mengulurkan tangannya dan dibalas dengan uluran tangan Naura, "Gue Naura, panggil aja Nana."

"Kalo udah nggak ada kepentingan, lo pergi, deh," ucap Fara terang-terangan mengusir Nando.

"Kok, ngusir? Nanti kangen, lho,” Nando memainkan alisnya dengan ekspresi jenaka.

"Gue bentar lagi mau balik kerja, mending lo pergi dari pada gangguin waktu istirahat gue.” Fara melirik Nando. Rasanya waktu istirahatnya hari ini terbuang sia-sia karena kehadiran pria itu.

Nando terkekeh geli kemudian mengacak rambut sepundak Fara dengan gemas. "Nanti malam gue jemput."

Mulut Fara sudah terbuka hendak memprotes, tapi dengan cepat Nando berucap, "Oh ya, gue nggak suka penolakan." Nando bangkit melangkah keluar kantin tanpa memedulikan ekspresi penolakan Fara.

"Demi apa??? Ibu lo ngidam apa sampe lo bisa kejatuhan duren berkali-kali?" Naura berdecak kagum.

"Kejatuhan duren adanya juga sakit, Na," Fara tampak acuh menanggapi ucapan Naura.

Mungkin, semua orang akan berpikir sama dengan Naura, tapi tidak bagi Fara. Dia justru merasa seperti ada kesialan beruntun di hidupnya. Kesialan pertama, dia harus bekerja dengan mantan gebetannya sendiri, dan yang kedua, dia harus bertemu dengan sosok pemaksa dan playboy. Mungkin, setelah ini tidak akan ada lagi hidup damai sentosa seperti hari-hari sebelumnya.

"Bayangin ya, Ra, lo bisa kerja di bawah pimpinan CEO ganteng macem Willy Alexander, dan sekarang lo digebet cowok seganteng Nando. Huhu, mereka berdua benar-benar suami idaman.” Naura melipat kedua tangan di depan dada dengan tatapan menerawang, “Seandainya mereka future husband gue di masa depan, pasti gue adalah cewek paling beruntung di dunia ini.”

Fara mendengus kesal mendengar celotehan Nana yang menurutnya tidak penting. Nando memang tampan, mapan, dan bermulut manis. Satu kekurangan pria itu, playboy. Fara paling anti dengan sifat yang satu itu. Memang belum terbukti, tapi melihat tingkah Nando yang bermulut manis dan pandai merayu, jelas saja Fara menyimpulkan lelaki itu buaya darat. Mungkin, diam­diam Nando memiliki watak  pedofil dan mengincar gadis-gadis remaja.

Waktu istirahat sudah hampir habis, tapi mood makan Fara hilang sejak kejadian tadi. Dia tidak suka sikap pemaksa Nando, apalagi mereka belum saling mengenal lebih jauh, tapi pria itu sudah bersikap seolah-olah mengenal Fara bertahun- tahun lamanya.

Fara menghela napas lelah. Kenapa ya, gue berasa ketiban sial terus sejak ketemu lagi dengan Willy?' batin Fara.

***

"Fiuhh ..., akhirnya selesai juga.”

Fara merenggangkan tubuh melemaskan jari-jarinya yang terasa pegal karena beberapa jam berkutat dengan komputer untuk menyusun sebuah jadwal. Sebagai sekretaris, Fara bertugas untuk menyusun jadwal atasannya. Mulai dari jadwal kunjungan, jadwal kapan atasannya harus bertemu dengan petinggi perusahaan lain, dan masih banyak lagi.

Fara membawa dokumen itu menuju ruang atasannya. Fara mengetuk pintu sekilas sebelum akhirnya membuka pintu saat mendengar Willy mempersilakannya masuk. Willy terlihat serius berkutat dengan laptop di mejanya, sesekali membuka dokumen dan membacanya dengan serius. Fara berjalan mendekati meja kerja Willy menyodorkan dokumen yang telah dia buat tadi.

"Ini, Pak, jadwal sebulan ke depan."

Lihat selengkapnya