Amor Prohibido

Aurellia Angelie
Chapter #6

Bab 5

1 bulan kemudian...

Besok adalah hari yang Nerissa tunggu tunggu. Ia akan berangkat ke Amerika untuk program pertukaran pelajar. Ayahnya beberapa minggu yang lalu sudah mengizinkan Nerissa untuk pergi. Mungkin Peter sadar bahwa ia tidak bisa selamanya meminta anaknya untuk tinggal apalagi ia tidak punya waktu yang banyak untuk Nerissa. Nerissa mengemasi semua barang barang yang akan ia bawa ke Amerika. Ia bahkan memasukkan beberapa foto dengan ayahnya. Dalam waktu satu jam, Peter akan pulang. Katanya ia mau menghabiskan waktu dengan anaknya sebelum anaknya pergi. Nerissa memandangi jam dinding. Besok ia harus sudah sampai di bandara jam 9 pagi karena pesawat akan lepas landas jam 10.15. Ya lebih baik duluan kan dibanding terlambat. Saat mendengar pintu rumah terbuka, Nerissa langsung berlari dari kamarnya untuk mengecek siapa yang masuk.

“Ayah sudah pulang?” tanya Nerissa.

“Iya, kalau dipikir pikir lagi bedanya apasih kalo ayah datengnya satu jam lagi atau sekarang hahaha.”

“Yey..”

“Nih ayah bawa donat kesukaan kamu. Kamu kan belum tentu nemu yang kayak gini di Amerika kan?” ujar Peter sembari mengacak acak rambut Nerissa. Nerissa kegirangan dan langsung mengambil sekotak donat dari tangan ayahnya. Saat membuka bungkus donatnya, ia langsung melahap donat tersebut. Peter tersenyum melihat putrinya tersebut. Baginya waktu tak terasa karena seperti baru kemarin Nerissa masih suka rewel jika tidak dituruti keinginannya. Ia masih tidak rela jika anaknya harus cepat sekali tumbuh. Apalagi ia harus pergi.

Disisi lain Frederick sedang panik karena polisi berhasil menemukan markas mereka yang dekat kafe. Sudah bertahun tahun mereka menjadikan tempat tersebut sebagai markas. Namun Frederick tidak akan pernah menyangka tempat itu akan diketahui oleh pihak kepolisian. Frederick hanya mondar mandir memikirkan nasibnya. Untungnya sedang tidak ada yang berkumpul di markas. Namun ia tahu cepat atau lambat mereka akan ditemukan karena sepintar pintarnya mereka membersihkan bukti, pasti ada saja yang tersisa. Frederick benar benar sudah kehabisan akal. Ia hanya bisa duduk dan terdiam. Polisi pasti akan mudah mengetahui keberadaan Frederick dan anak buahnya dalam waktu yang singkat jika mereka menemukan barang bukti.

Kring..kring..kring..

Ponsel Frederick berdering. Itu dari anak buahnya. Ia sempat tidak ingin mengangkatnya, namun barangkali ada informasi penting yang perlu ia ketahui.

“Ada apa?” tanya Frederick setelah mengangkat telepon dari anak buahnya.

“Kita harus bagaimana bos?” orang di seberang telpon itu kedengarannya seperti sedang panik.

“Kita buat rencana.”

“Bos, aku meninggalkan seputung rokok disana.” mendengar hal itu, Frederick menjadi marah.

“Sudah kubilang kan?! Dari dulu! Jangan pernah tinggalkan barang disana! Kamu gak pernah dengerin ya?!” teriak Frederick.

“Maaf bos.” Frederick kemudian terdiam sejenak.

“Cari nama belakangnya cepat!” suruh Frederick.

“Nama belakang?”

“Cepat!” lalu Frederick memutus panggilan tersebut. Ia membanting ponselnya dan terduduk lemas di atas lantai. Andrian yang mendengar ayahnya berteriak dari dalam kamarnya hanya terdiam. Ia merogoh ponselnya dan langsung menelepon seseorang.

“Bisakah giliranku di tunda lusa? Ada urusan mendadak yang memaksaku untuk tetap tinggal selama sehari. Bisa kan?” Andrian bicara dengan orang melalui panggilan dengan serius. Setelah mendapatkan jawaban yang memuaskan, Andrian berterima kasih dan memutus panggilan tersebut. Ia mencoba mengintip ayahnya. Ia sedikit khawatir dengan ayahnya. Yang ia lihat hanyalah Frederick yang sedang duduk di atas lantai. Andrian sempat kebingungan. Sebenarnya apa yang akan dilakukan ayahnya? Tiba tiba saja tanpa sepengetahuan Andrian, Frederick membuka pintu. Ia berjalan keluar kamarnya. Ia kemudian duduk di depan televisi. Raut wajahnya datar. Tidak ada ekspresi sama sekali. Andrian hanya menatapnya kemudian ia ikut duduk disebelah ayahnya itu.

“Ada apa?” tanya Andrian.

“Lihat aja.” Frederick melihat ke arah televisi. Andrian pun ikut menatap ke arah televisi. Sedang disiarkan sebuah berita. Berita itu mengatakan bahwa markas pembunuh berantai sudah berhasil ditemukan, namun tidak ada seorang pun disana. Andrian terkejut melihat berita itu. Pantas saja ayahnya dari tadi hanya diam. Andrian langsung beranjak dari tempat duduknya dan masuk ke dalam kamarnya. Ia sebelumnya tidak pernah melihat ayahnya seputus asa ini. Dulu, Frederick pasti akan menyelesaikan masalahnya dengan sigap. Namun entah mengapa Andrian bahkan tidak melihat harapan dan semangat dari mata ayahnya. Andrian tidak ingin mengambil kesimpulan apapun dari apa yang ia lihat barusan. Ia tahu jika pasti sebentar lagi ayahnya akan tertangkap. Namun ia tidak bisa melakukan apapun demi ayahnya. Ini sudah risiko yang harus ayahnya dapat. Namun bagaimanapun, Frederick tetap ayahnya. Ia antara tidak tega, namun juga dendam dengan ayahnya. Dulu sewaktu Andrian kecil, ayahnya sangat memperhatikannya. Semua kebutuhan Andrian pasti akan dipenuhinya. Menurutnya, satu satunya kejahatan Frederick kepadanya hanyalah ia membiarkan ibu Andrian pergi begitu saja. Sampai sekarang ia bahkan tak mengetahui keberadaan ibunya tersebut. Namun selain itu, Frederick tidak pernah jahat kepadanya. Ya mungkin soal kekerasan yang dilakukan Frederick kepada Andrian adalah sebuah kejahatan pula. Namun Andrian hanya menganggapnya sebagai hukuman karena membantah. Andrian sudah kebal sekali dengan pukulan atau pun luka. Itu sebabnya ia tak menganggap itu sebagai kejahatan ayahnya kepadanya, karena dengan ayahnya seperti itu ia akan semakin kuat. Andrian sadar bahwa pekerjaan ayahnya tidaklah benar, ia sudah memperingati ayahnya berkali kali, namun ayahnya tak pernah mendengarkan. Hanya itu saja. Sisanya, jika Andrian tidak membantah atau pun membangkang, Frederick benar benar berperan sebagai ayah yang baik.

Matahari mulai tenggelam. Nerissa belum juga selesai membereskan barang barangnya. Ia hanya memandangi kamarnya. 3 bulan tidak begitu lama, namun ia juga tak ingin pergi. Tanpa Nerissa sadari, Peter sudah memandanginya. Ia tersenyum ketika Nerissa melihat kearahnya. Peter kemudian duduk di sebelah Nerissa dan mengelus elus rambut Nerissa.

“Kamu yakin gak mau nginep di rumahnya Tante Arlenne?” tanya Peter.

“Loh memangnya Tante Arlenne tinggal di Amerika?” tanya Nerissa balik. Peter mengangguk.

Lihat selengkapnya