Amor Prohibido

Aurellia Angelie
Chapter #12

Bab 11

Pagi hari sudah tiba. Nerissa terbangun sebelum matahari terbit. Ia melihat lihat sekitar rumah. Sepertinya Andrian belum terbangun. Nerissa berkeliling sejenak sambil mencari sesuatu untuk melarikan diri. Ia masih bersikeras untuk keluar dari situ walaupun sulit baginya karena Andrian sudah benar benar memperhatikan detail kecil yang ada. Ia nampaknya tidak seperti orang yang baru pertama kali melakukan hal semacam ini.

Hari ini rencana Nerissa adalah untuk mencuri ponsel Andrian dan pergi mencari bantuan. Ia pertama mencari di seluruh sudut ruangan kecuali kamar Andrian. Nerissa berpikir mungkin saja Andrian melakukan hal semacam itu untuk mengecohnya, namun Nerissa tidak menemukan apapun. Akhirnya ia memutuskan untuk menyelinap ke kamar Andrian dan mengambil ponselnya.

Nerissa perlahan membuka pintu kamar Andrian. Terlihat Andrian masih tertidur. Nerissa dengan perlahan mencari keberadaan ponsel Andrian. Di atas meja rias, meja lampu, semuanya tak terkecuali namun itu belum cukup. Ia tidak menemukan ponsel Andrian. Sampai saat ketika Andrian berganti posisi saat tidur, Nerissa melihat ponsel Andrian yang terletak epat di sebelah Andrian. Ia dengan perlahan mengambil ponsel tersebut dan menyalakannya. Saat ia menyalakannya, terdapat tulisan bahwa tidak ada jaringan. Nerissa mencoba untuk mematikan ponsel itu dan menyalakannya lagi, namun tetap tidak ada jangkauan. Hingga Nerissa tidak menyadari bahwa Andrian sudah memperhatikannya dari tadi. Nerissa yang baru menyadari hal itu langsung terdiam dan meletakkan ponsel Andrian perlahan.

“Gak bisa secepat itu dong,” ujar Andrian yang tersenyum sambil memegang kartu sim ponselnya. Nerissa menelan ludahnya.

“Bandel banget lu,” lanjut Andrian yang semakin mendekat ke arah Nerissa. Kini wajahnya dan Nerissa hanya berjarak tidak lebih dari 10cm.

“Lu tau kan gua bisa apa kalo lu tetap bandel?” tanya Andrian. Nerissa tetap terdiam. Lalu Andrian menjauhkan wajahnya.

“Keluar lu, habis ini gua beliin sarapan,” suruh Andrian. Nerissa tidak bergerak sama sekali.

“Gua bilang keluar! Budek?!” Nerissa yang tadinya terdiam langsung pergi setelah Andrian mengatakan itu. Andrian yang melihat Nerissa sudah pergi langsung mengambil handuk dan pergi mandi. Nerissa yang baru saja keluar kamar Andrian masih terdiam. Ia benar benar tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sejak kapan ada penculik yang membelikan makan, tidak melukainya sama sekali?

Selang 10 menit, Andrian keluar dari kamarnya. Ia membawa sebuah pistol bersamanya yang membuat Nerissa ketakutan. Andrian juga membawa tas ransel dan kunci mobil. Pikiran Nerissa sudah kemana mana, yang ada dipikirannya sekarang adalah Andrian bisa saja mau memutilasi Nerissa dan membuangnya di sungai. Keringat Nerissa semakin bercucuran saat Andrian mendekat kearahnya. Andrian sempat kebingungan saat melihat Nerissa menatapnya dengan tatapan tegang. Andrian hanya ingin mengambil jaketnya yang letaknya tepat di belakang Nerissa.

“Gak usah tegang. Ini pistol gak gua arahin ke kepala lu. Santai,” ujar Andrian yang kemudian pergi begitu saja. Nerissa menghembuskan nafas lega. Ia pikir ia akan berakhir seperti di film film, dimana sandera selalu nasibnya tidak akan baik. Nerissa yang membeku selama beberapa menit akhirnya memutuskan untuk melihat lihat rumah tempat ia dikurung tersebut. Ia melihat ada beberapa kamera pengawas di setiap sudut ruangan. Iya, Nerissa sudah memperhatikan kamera itu dari kemarin. Sebenarnya Nerissa sudah banyak melihat lihat rumah ini kemarin, namun apa yang bisa dilakukan seorang sandera disaat seperti ini selain ini?

Tak lama Andrian kembali membawa dua kantung. Ia meletakkan satu di meja depan televisi dan satunya ia buka untuk dirinya. Nerissa hanya menatap Andrian dari jauh. Andrian yang merasa tidak nyaman diperhatikan terus menerus akhirnya meminta Nerissa untuk duduk di sebelahnya dan memakan sarapannya.

“Lu gak usah takut. Gua gak gigit. Sini lu, makan,” ajak Andrian sambil menepuk tempat duduk sebelahnya. Nerissa dengan perlahan duduk di sebelah Andrian. Andrian hanya memasang wajah datar. Andrian memperlakukan Nerissa dengan “baik” walaupun dengan tatapan dinginnya dan nada bicaranya yang datar seolah olah tak peduli sama sekali terhadap Nerissa

“Gua pikir lu pasti bosen gua beliin sandwich melulu. Jadi gua beliin lu pie sama telor ceplok. Ntar gua bikin sendiri telor ceploknya, buang buang duit beli diluar,” jelas Andrian. Nerissa menoleh sesaat ke arah Andrian dan mengangguk.

“Makasih,” ucap Nerissa. Andrian tak menjawab dan terus menyantap sarapannya. Andrian memang mengatakan semua itu dengan nada datar dan tanpa ekspresi, namun bagi Nerissa itu suatu hal yang tak biasa, apalagi ia berniat menculiknya. Saat sudah menyelesaikan sarapannya, Andrian pun beranjak. Ia membentuk bungkus makanannya menjadi bola dan melemparnya ke tong sampah seperti melempar bola basket ke ring dan kemudian kembali ke kamarnya. Sebelum ia benar benar masuk ke kamarnya, Nerissa memanggilnya.

“Let me take a bath,” (Biarkan aku mandi) seru Nerissa.

“Gak, gak bisa ditawar,” ujar Andrian.

“Please?”

“What?”

“Let me, I don’t smell good.”(Biarkan aku, bauku tidak enak)

“Who cares? That isn’t my job.”(Siapa peduli? Itu bukan pekerjaanku)

“Lu gak bakal suka bau gua besok.”

“Hhhh, yaudah iya.” Andrian pun masuk ke dalam kamarnya dan kemudian keluar dengan membawa kaos dan celana pendek miliknya.

“Lu pakai baju gua. Gua gak punya baju lu. Lu boleh cuci baju lu, ntar kalo sudah kering lu boleh ganti lagi.” Andrian kemudian melempar baju tersebut ke arah Nerissa dan pergi. Nerissa melihat kearah baju yang dilempar Andrian kearahnya. Itu sebuah kaos putih polos dan celana pendek hitam laki laki. Sejenak ia berpikir untuk tidak memakainya, namun ia tak punya pilihan lain.

“Oh ya, handuknya di sana,” ujar Andrian sambil menunjuk ke arah lemari dekat pintu belakang. Nerissa pun beranjak mengambil handuk di dalam lemari tersebut dan mandi.

Di sisi lain, Andrian sedang membereskan barang barangnya yang berserakan dan tidak sengaja menemukan note nomor telepon milik Faza, gadis yang tiba tiba menghampirinya dan mengatakan kepada Andrian jika ia kesulitan, ia bisa menelepon Faza. Yang membuat Andrian semakin bingung karena ia menyebut ayahnya. Kalau dia tidak tahu apa apa, Faza bisa saja kan menyebut ibu Andrian, bukan ayah?

Andrian pun merogoh ponsel dari sakunya dan memasukan kartu simnya agar bisa mendapat jaringan. Ia langsung menghubungi Agatha. Awalnya ia hanya mengirim pesan singkat, namun ia baru sadar, ia akan melepas kartu simnya dan ia tidak akan mendapat jawaban dari Agatha. Akhirnya ia memutuskan untuk menelepon Agatha.

“Tha,” seru Andrian setelah panggilannya tersambung.

“Apaan Dri?”

“Gua minta tolong lu perhatiin gerak gerik Faza ye.”

“Dih apaan dah? Lu ada masalah sama Faza?”

“Udah gua minta tolong ini doang.”

“Lu lagi sakit, dateng dateng minta gua nyelidikin orang lain. Gak salah lu?”

Lihat selengkapnya