“Cinta itu gak ada,” kataku serius.
Kedua alis Erin menyatu seraya menatapku. Sahabatku itu tersedu, air matanya berlinangan membasahi pipi.
“Yang orang bilang ‘jatuh cinta’ itu cuma reaksi kimia dari otak yang mempengaruhi kerja organ-organ tubuh kita,” jelasku lagi.
Erin menyeka mata dan hidungnya dengan tisu. “Ap-apa sih, Ra?” katanya terbata.
“Jantung deg-degan, tangan keringetan, kemampuan logika menurun, itu semua kerja hormon. Gak ada istimewanya, Rin.”
Pundak Erin bergerak naik-turun. Beberapa kali dia terlihat menarik dan melepas udara dengan perlahan. Matanya bengkak. Tak heran, Erin tidak berhenti menangis sejak mengetuk pintu kamar kosku sepuluh menit yang lalu. Kekasihnya kedapatan jalan bersama cewek lain untuk kesekian kalinya. Sebagai sahabat, aku pun memaksakan diri untuk mendengar keluhan Erin, tak peduli bahwa waktu tidurku harus terganggu di tengah malam buta.
Tak lama setelah Erin menenangkan diri, aku membuka suara, bertekad untuk membuatnya kembali berpikir jernih.
“Salah satu zat yang terstimulasi saat lo merasa ‘jatuh cinta’ itu serotonin. Reaksinya bisa membuat lo hanya terfokus pada satu hal. Ada juga dopamin, efeknya sama kayak otak yang sedang dalam pengaruh kokain. Jadi—“
“Mora, gue lagi gak mood untuk belajar, deh...” potong Erin serak.
“Jadi,“ ulangku dengan penekanan, tak kugubris penolakan Erin. “Gak heran kalau sekarang rasanya berat banget. Itu karena lo lagi dalam kondisi terobsesi kayak stalker dan sakaw kayak pemakai narkoba. Tapi itu kan otak lo—elo yang pegang kendali. Lo gak akan nangis kayak gini kalau tahu cara menyiasatinya.”
Erin memutar bola matanya. “Mana bisa ngatur perasaan...” ujarnya dengan nada meremehkan.
“Bisa!” tegasku. Kuraih sebuah buku dari rak pendek di samping tempat tidur, kemudian kusodorkan pada Erin. Air muka sahabatku itu berubah malas saat melihat desain sampul yang sudah sangat dikenalinya. Memang bukan sekali aku merekomendasikan buku tersebut padanya, tak peduli meski dia terus menghindar.
“The Science of Love. Kitab suci lo, ya?”
“Baca deh, Rin. Disini juga dijelasin tentang asupan nutrisi dan gaya hidup yang bisa normalin hormon. Biar move on-nya gampang.”
Namun sia-sia, kata-kataku malah membuat raut Erin bertambah kecut, air matanya mengalir lebih deras. Erin menggeser duduknya ke arahku, kemudian sahabatku itu melebarkan kedua tangannya—seperti yang biasa dilakukannya saat membutuhkan dukungan.
Kusambut pelukannya. Kubiarkan Erin menenangkan diri dalam dekapanku selama beberapa saat.
“Meskipun lo kayak gini, gue akan tetep jadi temen lo, Ra.”
“Maksudnya apa, tuh?” Kudorong cewek itu menjauh. Tampangku sengaja kubuat curiga, meskipun dalam hati aku tahu bahwa Erin hanya bercanda.
“Lagian, orang patah hati lo hibur pake teori. Pake buku. Gak sensi banget, sih!” omel Erin dengan mata yang masih berkaca-kaca.
“Ini logis, Erin. Logika.”
Erin tertawa hambar. Cewek itu mengambil selembar tisu lagi untuk menghapus air mata.
“Iya gue tahu. Lo emang selalu gitu. Dasar ilmuwan cinta.” Erin mengucapkannya dengan nada geli—julukan yang dimaksudkan untuk meledek obsesiku akan reaksi kimiawi otak manusia saat jatuh cinta.
"Tapi apapun yang terjadi, gue gak mau kalah. Gue harus kasih pelajaran ke si brengsek itu. Gue mau buktiin kalau gue juga bisa cari cowok lain!" Erin melanjutkan kata-katanya dengan semangat berapi-api.
"Gak usah buru-buru juga sih, Rin...."
"Enggak. Gak bisa, Ra. Gue udah curiga banget dia selingkuh. Sekarang terbukti, kan? Dia udah gak bisa bohong lagi!"
Sebenarnya, ingin sekali aku mengingatkan kalau dugaannya belum tentu benar dan niatnya itu tidak akan mengubah apa-apa, tapi aku paham bahwa tidak ada gunanya aku menasihati sahabatku sekarang. Saat ini Erin hanya butuh melepaskan emosi.
“Makasih ya, Ra... mau dengerin curhatan gue. Sori ya, gue tadi lupa kalau lo pasti udah tidur....”
Aku bersimpati dengan mengelus punggung sahabatku itu. Kubiarkan Erin mengatur perasaannya dalam hening.
Ah cinta, deritanya memang tiada akhir, tapi tetap saja membuat manusia tergila-gila, itulah sebabnya aku tak bisa menyalahkan Erin. Tapi seandainya sahabatku mau benar-benar mengerti bahwa cinta yang dia agung-agungkan itu tak lebih dari persepsi dan memori yang menstimulasi otak untuk melepas senyawa kimia.
Mungkin dengan begitu, dia tak akan kecewa.
♡♡♡♡♡
Ini bukan pagi favoritku.
Mataku masih berat karena mengantuk, perutku kembung, dan seperti biasanya rambutku berulah. Kupandangi refleksi diriku di cermin dengan putus asa. Sebuah sisir bergigi jarang mencuat dari salah satu sisi rambutku yang mirip semak-semak. Sudah lima menit aku berusaha—baru sepertiga dari perjuangan yang biasa kulewati—tapi aku merasa lelah.
Pertarungan panjang untuk mengatur mahkotaku yang berjenis kribo adalah sarapanku sehari-hari. Aku harus berjuang mati-matian untuk menjinakkan rambut yang tak pernah mau menurut, tak peduli berapa banyak pun produk kecantikan yang kugunakan.
Alat catok tidak bisa diandalkan—hasilnya tak maksimal, rambutku akan kembali menggeliat kacau dalam waktu beberapa jam. Bonding atau teknik tata rambut apapun yang ditawarkan salon bukan pilihan karena kulit kepalaku sensitif, mudah alergi.
Kuhela napas frustrasi. Perlahan, aku meluruskan helai demi helai rambutku yang saling berbelit. Butuh waktu lama sampai akhirnya aku berhasil membaginya menjadi tiga bagian, setelah itu kukepang, lalu kuikat ujungnya dan kusematkan jepit di beberapa titik.
Beres. Batinku meski sadar bahwa masih ada beberapa anak rambut nakal yang mencuat di sana-sini.
Aku berdiri, membetulkan celana panjang berbahan jeans yang kukenakan dan sekali lagi mematut diri di depan kaca. Terusan ungu muda kesayanganku terlihat manis, tapi lagi-lagi warna kulit kecoklatan dan rambutku yang acak-acakan merusak suasana hati. Rasanya aku selalu terlihat seperti belum mandi, seperti yang sekarang terpantul pada cermin di hadapanku ini.
“Udah mau jalan, Ra?” Aku menoleh pada Erin yang tiba-tiba sudah muncul di depan pintu kamar yang kubiarkan terbuka. Cewek itu menguap sesaat sebelum berbalik menjauh dan mendudukkan diri di sofa panjang pada lorong di antara kamarku dan kamarnya. Pakaian tidurnya kusut di sana-sini, selaras dengan raut wajahnya. Matanya sembap, sudah pasti akibat kurang tidur dan menangis semalaman.
“Kok jurusan lo banyak kuliah pagi, sih? Kasian banget,” sambung sahabatku itu dengan nada meledek.
“Gue doain kualat. Semester depan lo kuliahnya dari subuh.” Aku mendengar gumaman protes dari Erin. Pertemanan kami memang banyak diwarnai sumpah-serapah dan ancaman, begitulah cara kami saling mengungkapkan perhatian.
“Jadi bolos?” tanyaku seraya meraih ransel dari atas meja belajar.
“Niatnya begitu, tapi ternyata gue mesti dateng kuliah sore. Gue lupa kalau hari ini mau ada presentasi.”
Setelah mengunci pintu kamar kosku, aku mengambil sepasang sneaker pada rak sepatu kecil di sisi kananku, kemudian kubawa menuju sofa di seberang Erin. Kududukkan diriku di sana, kemudian kulanjutkan obrolan kami di sela-sela kegiatanku memasang kaus kaki.
“Kalo gitu, nanti mata lo dikompres aja pake es, biar bengkaknya cepet ilang,”
Erin merespons saranku dengan anggukan. Semua itu dilakukannya sambil memijat kulit di sekeliling indera penglihatannya perlahan.
“Ngomong-ngomong... cowok lo gimana?” Seingatku, Erin bahkan masih sempat bertengkar dengan kekasihnya via telfon, tak lama sesudah dirinya selesai mengadu di kamarku.
Erin hanya menjawab dengan pernyataan pendek, “Jangan dibahas.”
“Perlu gue labrak?” Aku berlagak kesal. Tentu saja aku tak bermaksud untuk benar-benar menegur kekasih Erin, tapi paling tidak aku ingin menghibur sahabatku walau sedikit.
Erin terkekeh, kali ini tawanya terdengar lebih tulus. “Lo kasih pelajaran hormon aja kayak kemaren. Biar muntah.”
Sesaat aku kehabisan kata-kata. Padahal aku bermaksud untuk memberinya dukungan mental, tapi Erin masih bisa-bisanya mengejekku.
Aku yang baru saja selesai mengenakan sepatu segera berdiri, kemudian mengalungkan salah satu tali ranselku pada sebelah bahu. “Yaudah, jangan nangis terus, ya. Gue jalan dulu.”
Erin melambai lemas padaku yang berjalan menuruni tangga. Diam-diam, aku menghela napas panjang, lagi-lagi mengasihani sahabatku yang sedang patah hati.
♡♡♡♡♡
“Nanti pulang kuliah ada kumpul pengurus angkatan.” Alif, teman sekaligus ketua angkatanku itu berbicara pelan sambil tetap memandang ke arah Pak Anas yang sedang mengajar di depan kelas.