Amora Menolak Cinta

Amanda Bahraini / Rainy Amanda
Chapter #2

Moka Stroberi

Seharusnya aku tahu bahwa mengonsumsi rujak sebelum tidur, terutama untuk seseorang dengan pencernaan lemah sepertiku, bukanlah ide yang bagus.

Lambungku mulas sejak subuh. Sudah berkali-kali aku menyambangi kamar mandi, tapi nyerinya masih saja datang dan pergi.

Masalahnya, sakit perutku ini membuatku telat berangkat ke kampus. Jam kuliah Biologi Dasar-ku sudah dimulai tapi aku baru mencapai gerbang universitas. Setelahnya, aku masih harus berlari menuju bangunan perkuliahan umum yang terletak di ujung paling timur kampus UNB. Seakan situasiku belum cukup genting, aku bahkan terpaksa mampir sejenak di toilet terdekat untuk melakukan ‘penyelamatan’ darurat.

Sebuah pesan masuk ke dalam ponselku saat aku baru saja keluar dari kamar mandi. Dari Heidy.

heidyeita : Haida udah dateng L. Kuissss!! Mampuss!!!

Gawat. Ibu Haida adalah dosen yang cukup ditakuti. Dia terkenal galak luar biasa, terutama pada mahasiswanya yang kurang disiplin. Itulah mengapa teman-temanku sangat takut untuk membuat kesalahan di depan Ibu Haida. Jujur, aku baru saja berniat untuk membolos, tapi sekarang diriku dirundung ragu. Rasanya sayang sekali kalau aku tidak memperjuangkan nilai kuis yang bisa membantu hasil akhir semester pertamaku ini.

Tak ada gunanya berpikir lebih lama. Aku bergegas untuk mendaki sisa dua tangga yang akan membawaku menuju lantai empat, tempat ruangan 9741 yang kutuju berada. Kebetulan sakit perutku sedikit mereda dan aku ingin memanfaatkan situasi. Aku baru saja sampai di depan ruang kuliahku saat aku mendengar derapan langkah kaki yang menggema di lorong. Refleks, aku menoleh dan tatapanku bertemu dengan Shinji yang juga terburu-buru.

Cowok itu berhenti di tidak jauh dariku. Napasnya sama sekali tidak terengah meskipun habis  berlari, namun beberapa bulir keringat terlihat membasahi dahinya. Pemuda itu menatap pintu ruang 9741 yang tertutup rapat. Kurasa dia juga sedang mempertimbangkan kemungkinan untuk menyerah—mungkin membayangkan duduk-duduk di kantin sambil menunggu kelas berikutnya—tapi aku memutuskan untuk memberitahunya info penting yang barusan kudapatkan dari Heidy.

“Ada kuis mendadak.”

Dari ekspresi wajahnya, aku bisa tahu bahwa sebaris kalimat itu juga membuatnya berpikir dua kali.

♡♡♡♡♡

“Taruh semua alat tulis di meja. Kumpulkan lembar jawaban dari belakang.”

Kuletakkan pulpen milikku sesuai perintah Ibu Haida. Tak lama, seseorang menyentuh pundakku, memberikan beberapa helai kertas yang menghadap ke bawah. Tanpa banyak bicara, aku segera menempatkan lembar jawaban milikku di tumpukan paling atas dan mengantarnya ke meja dosen—tempat Ibu Haida sudah menunggu.

“Baris tengah kenapa lama sekali? Apa mau semua lembar jawaban kalian saya diskualifikasi?” ancam Ibu Haida tanpa mengubah intonasi ataupun ekspresi datar miliknya. Suara-suara panik mulai terdengar, menyuruh satu sama lain untuk bergerak lebih cepat. Diam-diam aku bersyukur dalam hati, untunglah tadi Ibu Haida sedang berbaik hati mengizinkanku untuk memasuki kelas dan mengikuti kuis tanpa banyak komentar.

Aku menoleh ke belakang, mencari-cari sosok Alif dan Heidy. Kedua temanku itu duduk di barisan kelima tengah, sementara aku berada di barisan terdepan kanan, dekat pintu. Sebagai mahasiswa telat, aku jelas tak bisa memilih-milih tempat duduk seperti biasanya. Alif tengah sibuk berdiskusi dengan temanku yang lain, tapi Heidy menyambutku dengan gestur yang heboh. Cewek itu menunjuk-nunjuk ke arahku dengan penuh semangat.

Aku berdecak sebal. Temanku itu. Saat seperti ini pun dia masih saja sempat mengekspresikan kekagumannya pada Shinji.

Ya, karena keterlambatannya, Shinji juga terpaksa duduk di area depan—tepat di sebelahku.

“Kita lanjutkan pelajaran,” perintah Ibu Haida setelah memastikan semua lembar jawaban sudah terkumpul.

Kalimat pendek dari dosen killer tersebut berhasil membuat ruangan kembali sepi. Aku mengambil file organizer dari dalam tas dan menegakkan duduk, siap memperhatikan dan mencatat. Tapi seseorang mengetuk mejaku dengan ujung jarinya.

Shinji.

“Ada pulpen atau pensil lagi gak? Pinjem dong. Punya gue udah sekarat nih.” Shinji  menunjukkan pulpen bermerek pilot miliknya.

Aku sempat bertanya-tanya dalam hati bagaimana Shinji menuliskan jawaban kuis dengan pulpen yang kehabisan tinta? Tapi aku tak mau banyak bicara. Kuambil tempat pensil milikku dan kukeluarkan sebuah pensil kayu berujung tumpul yang hampir tak pernah kugunakan, kemudian kuberikan pada Shinji.

Thanks,” ucap cowok itu seraya melempar senyum.

Aku kembali mengalihkan fokusku pada Ibu Haida, tapi tak lama kemudian, Shinji kembali mengajakku bicara.

“Ada rautan? Patah nih,” Shinji berkata pelan sambil memperlihatkan ujung pensil yang tiba-tiba sudah kehilangan bagian grafit hitamnya.

Aku mengernyitkan dahiku dengan sengaja, kemudian kuberikan dia sebuah rautan kecil berbentuk bulat.

“Hehehe... maaf ya gue ngerepotin. Makasih...” balas Shinji bersopan santun, sadar bahwa tingkahnya membuatku terusik.

Kali ini aku merasa sedikit tidak enak, mengingat aku bahkan menyiram Shinji dengan susu moka kemarin sore dan aku belum sempat meminta maaf.

“Gak apa-apa, kok,”

“Asal abis ini gue jangan disiram susu aja, ya. Ampun, deh.”

Sindiran dari Shinji itu sukses membuatku menoleh dan menatap tajam padanya. Shinji terlihat fokus meraut pensil yang kupinjamkan. Tapi salah satu ujung bibir cowok itu tertarik sedikit ke atas—gerak-gerik yang kuanggap sebagai rasa puas karena berhasil membuatku tersulut.

“Yaudah. Maaf ya soal kemarin.”

“Gitu, dong. Gak perlu kabur, kan?” Shinji memperlihatkan sedikit barisan gigi-giginya seraya menempatkan rautan yang barusan dipinjamnya di atas mejaku.

“Kalau mau mengobrol jangan di kelas saya, ya.”

Aku menoleh ke arah Ibu Haida yang masih menuliskan sesuatu pada whiteboard.

“Tolong jangan pura-pura tidak tahu. Kalian berdua yang barusan terlambat, kalau memang tidak ingin belajar, tak usah repot-repot masuk ke kelas saya.”

Kali ini, sekujur tubuhku serasa dialiri listrik, nyeri lambung yang barusan sempat menghilang tiba-tiba kembali menyerangku. Spontan, aku melirik Shinji. Raut wajah cowok itu berubah lebih serius dari biasanya.

Ibu Haida meletakkan spidolnya. Wanita paruh baya itu menatapku dan Shinji, kemudian melanjutkan kata-katanya, “Berapa NIM kalian?”

Kelas yang hening membuat suasana terasa semakin mencekam. Tanpa menengok pun aku tahu bahwa berpasang-pasang mata sedang memperhatikan diriku dan Shinji.

“Kenapa diam saja?” ulang Ibu Haida.

Shinji berdiri dan menyebutkan nomor induk mahasiswanya dengan jelas, “13215081”

Ibu Haida memeriksa daftar absen. “Shinji?” ucapnya untuk memastikan. Mungkin sedikit heran dengan nama asing yang terselip di antara deretan nama-nama lokal.

“Iya, Bu,” respons Shinji tenang.

“Yang perempuan?”

“1-3...” Aku membersihkan tenggorokan yang tiba-tiba terasa kering sebelum mengulang kembali kata-kata yang sempat terputus.  “13215075”

Setelah mengetahui NIM dan nama kami berdua, Ibu Haida kembali menatapku dan Shinji dengan sorot tajam.

“Amora dan Shinji, boleh hari ini kalian meneruskan obrolan di luar kelas? Saya terus terang merasa terganggu.” Kalimat Ibu Haida memang berbentuk permintaan, tapi bagiku itu terdengar seperti ultimatum.

Aku terdiam. Tak tahu harus berbuat apa. Shinji-lah yang membuka suara lebih dulu. “Maaf, Bu. Kami tidak akan mengulangi lagi. Kalau bisa, kami ingin tetap mengikuti pelajaran,” mohon Shinji dengan sopan.

Ibu Haida tidak membalas kata-kata Shinji, dosen itu hanya terlihat berpikir sejenak sebelum kembali meneruskan penjelasan materi—seolah tidak terjadi apa-apa. Tapi aku tidak bisa merasa lega, namaku sudah tercatat dalam daftar hitam Ibu Haida. Entah apa nasib buruk apa yang akan menimpaku di akhir semester nanti.

♡♡♡♡♡

Kejadian di kelas Biologi Dasar pagi tadi merusak moodku selama sehari penuh. Apalagi lambungku kembali berulah tepat saat aku keluar dari laboratorium praktek sore ini. Yang lebih sial lagi, hujan turun saat aku berada di dalam toilet dan aku tidak membawa payung. Aku terpaksa menunggu cuaca terang kembali, padahal praktikum barusan adalah jadwal terakhirku untuk hari ini.

Hanya bertemankan smart phone milikku, aku berjalan-jalan mengitari selasar gedung Biologi yang sepi. Namun pelarianku yang satu itu pun tidak bertahan lama, karena ponselku ternyata kehabisan baterai.

Kutelusuri salah satu pelataran fakultas yang paling asri. Deretan ruang kuliah yang dindingnya bercat putih dengan pintu kayu berada di sebelah kiri, sementara di sisi berlawanan berbagai rupa tanaman herbal menghuni sebuah petak taman yang memanjang sampai ke ujung selasar. Aroma daun dan tanah basah yang bercampur-baur serta pemandangan dedaunan hijau membuatku relaks.

Kuputuskan untuk mendudukkan diri pada pinggir selasar, tidak memedulikan noda debu yang akan mengotori terusan selutut warna putihku nanti. Dari sini, aku bisa melihat hujan dan tanaman tanpa perlu takut terkena percikan air. Saat ini, dunia terasa begitu indah, aku bahkan bisa melupakan Ibu Haida dan nilai Biologi Dasar-ku yang terancam. Tapi, tiba-tiba seseorang yang tidak kuharapkan menghampiriku.

“Nunggu hujan berhenti juga?” tanya Shinji mengobrak-abrik kedamaian yang barusan begitu kentara kurasakan. Cowok itu bahkan ikut duduk di sampingku.

Aku bergeser menjauh, sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. Tapi Shinji juga tidak terlihat menunggu jawabanku, dia sibuk memeriksa ponselnya sambil tersenyum-senyum sendiri. Mungkin sedang bertukar pesan dengan cewek-cewek yang akan menjadi korbannya setelah Erin.

Selama beberapa saat, suara hujan adalah satu-satunya hal yang mengisi jarak antara aku dan Shinji, sampai akhirnya cowok itu kembali membuka topik.

“Erin apa kabar, Ra?”

“Ngapain nanya-nanya?” tuturku curiga.

“Emang gak boleh?” Shinji meresponsku dengan raut geli.

"Kalau lo gak serius, mending gak usah."

Lihat selengkapnya