“Jadi, abis ini jangan langsung pada pulang dulu, ya. Ada kumpul bentar setelah maghrib. Senior mau ngomongin soal materi dan jadwal diklat himpunan.”
Seruan dan gumaman yang bernada tak senang datang dari segala arah, memprotes Alif yang sedang memberikan pengumuman di depan kelas.
Semua tahu bahwa yang dimaksud dengan ‘Diklat Himpunan’ adalah ospek jurusan. Tapi dikarenakan peraturan universitas yang melarang keras perploncoan dalam bentuk apapun, senior lebih suka menyebutnya sebagai acara latih kepemimpinan untuk bergabung dengan HIMBI—kependekan dari Himpunan Biologi, kepengurusan mahasiswa Biologi Universitas Negeri Bandung.
“Pokoknya saya minta partisipasi dari teman-teman, ya. Kita harus bisa menunjukkan kekompakan sebagai satu angkatan. Kalau enggak... semuanya bisa dihukum bareng, nih. Diabsen soalnya,” tambah Alif seraya memberikan ekspresi lo-tau-senior-kita-kayak-apa ke arah teman-temanku yang lain.
Meskipun begitu, masih saja ada mahasiswa yang mengeluh tak suka, termasuk Heidy yang duduk di sebelahku. Cewek itu dengan terang-terangan mengacungkan kedua ibu jari tangannya ke bawah.
“Oke, sekian dan terimakasih. Kita ketemu di selasar Biologi kira-kira...” Alif melirik jam pada pergelangan tangannya sejenak, “...satu jam 15 menit lagi.”
Teman-temanku berjalan keluar dari kelas segera setelah Alif selesai berbicara. Langkah mereka tidak seantusias biasanya—mungkin kecewa karena masih harus bertahan di kampus sampai matahari terbenam nanti.
Heidy segera melancarkan protesnya begitu Alif mendekati tempat duduk kami untuk mengambil tas.
“Masa gue bolos klub lagi?! Nyebelin banget, sih!”
“Dy, tadi kan gue udah bilang, kalau lo mau kabur dari briefing diklat himpunan ya silakan. Tapi gue gak tanggung jawab entar pas diklat benerannya.”
“Kenapa sih nyuruh ngumpulnya dadakan? Kenapa gak tanya-tanya dulu pada berhalangan apa enggak?” keluh Heidy. Cewek itu terus mengekori Alif yang sudah berjalan keluar dari kelas.
Aku mengikuti langkah Heidy dan Alif dalam diam. Tak ada gunanya ikut berdebat, toh mereka hanya berputar-putar di topik yang sama. Sudah kubilang, pertengkaran antara Alif dan Heidy itu sudah seperti hobi.
Kami berjalan menuuju pusat jajanan di depan kampus, tidak jauh dari sebuah masjid besar. Semua sudah sepakat untuk makan malam di sana.
Aku dan teman-temanku baru saja memasuki kawasan kantin ketika kami bertemu dengan mahasiswa jurusan Biologi tingkat I lainnya. Shinji dan beberapa kawannya langsung menggabungkan diri, membuat moodku turun drastis karena cowok itu mengingatkanku pada banyak hal yang menyebalkan.
Dengan sengaja, aku menghindar dari Shinji dan segera mengantre untuk mengambil makanan. Seperti biasa, tempat ini dipadati oleh para mahasiswa yang kelaparan setelah seharian beraktivitas di kampus. Tak heran, selain harganya yang murah meriah, makanan di sini disajikan dengan cara prasmanan. Untunglah, meskipun selalu ramai, ventilasi dan penerangan yang cukup membuat suasana kantin ini tidak terasa sumpek.
Setelah selesai membayar makan malamku di kasir, aku mengedarkan pandangan untuk mencari tempat duduk. Beberapa teman yang datang bersamaku tadi masih sibuk mengambil makanan dan mengantre, tapi aku tahu bahwa kami tidak harus duduk bersama. Dalam situasi seperti ini, mana mungkin mencari meja dan kursi kosong yang cukup memuat lebih dari 10 orang? Selain makanan di piring telanjur dingin karena terlalu lama menunggu, aku bisa habis dipandangi sinis oleh pengunjung yang lain.
Tapi paling tidak, aku akan mencari kursi untuk Heidy dan mungkin kalau beruntung, Alif.
Aku menemukan tempat kosong di ujung kiri ruangan. Meja panjang itu sudah terisi oleh mahasiswa-mahasiswa berjaket merah marun yang tidak kukenal, tapi masih menyisakan setidaknya tiga kursi untuk ditempati. Setelah bertanya dengan sopan pada salah seorang mahasiswa yang duduk disana dan memastikan kalau area itu kosong, aku segera meletakkan piring makan malam serta teh manis hangat milikku di atas meja.
Kukeluarkan ponselku dari dalam saku ransel untuk mengirim pesan pada Heidy, berniat untuk memberitahu lokasiku. Tapi belum sempat aku menekan tombol send, Shinji sudah menduduki kursi kosong di hadapanku.
“Sendiri, Ra?” tanyanya padaku.
Rasa malu segera menyerangku begitu pandanganku bertemu dengan Shinji, buru-buru kukatakan bahwa aku menunggu Alif dan Heidy. Sayang, gerombolan mahasiswa berjaket merah marun yang duduk di samping kananku tergelak bersama dengan tiba-tiba, sehingga suaraku tertelan oleh tawa mereka.
“Apa?” tanya Shinji lagi, kali ini seraya mencondongkan kupingnya ke arahku.
“Gue nge-tag kursi buat— “ Aku sudah berniat untuk mengulang kata-kataku, tapi mataku menangkap sosok Alif dan Heidy yang baru saja duduk pada meja di ujung berlawanan, bersama teman-temanku yang lainnya.
Saat itu juga rasa gundah menghinggapiku. Yang benar saja? Aku harus makan semeja dengan Shinji? Setelah semua yang terjadi?
“Udah ada orangnya, ya?” Shinji rupanya masih menungguku untuk meneruskan kalimat.
“Bro! Kita duduk disini, Bro?” Yondi tiba-tiba datang menghampiri kursi kosong di samping Shinji. Cowok berambut gondrong itu langsung mendudukkan diri. Aku sering melihat Yondi bersama-sama Shinji, tapi aku belum pernah mengobrol dengannya.
Sekilas, Shinji melempar pandangan ke arahku, seakan bertanya apakah dia dan Yondi diperbolehkan untuk menempati kursi tersebut. Aku mengedikkan bahu, toh memang semua meja terisi penuh, lagipula Heidy dan Alif juga sudah mulai makan di ujung sana.
“Yon, lo tau Amora, kan?” ujar Shinji seraya menyenggol lengan temannya yang belum apa-apa sudah mulai melahap makanan di piringnya dengan rakus. Kelihatannya teman Shinji yang satu ini lapar sekali.
Aku menganggukkan kepala dengan canggung ke arah Yondi. Sungguh proses perkenalan yang aneh.
“Iya dwong. Khan bendahara angkhatan.” Yondi berbicara dengan mulut penuh nasi.
“Kalau mau ngomong te— “ Belom sempat Shinji menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba Yondi terbatuk-batuk. Spontan, aku memundurkan posisiku, sementara Shinji dengan sigap mengangkat piring-piring kami, berusaha menghindarkannya dari remah nasi dan lauk-pauk yang disemburkan Yondi.
“Telen dulu semuanya sebelum ngomong!” tegur Shinji sambil memperhatikan temannya yang buru-buru meraih salah satu gelas di atas meja dan langsung meneguknya tanpa jeda.
Gelas berisi teh manis hangat milikku.
“Eh itu— “