AMUK!

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #1

Keris

Orang-orang Jawa boleh saja berpikir bahwa merekalah yang menciptakan keris. Mereka boleh saja mengaku memiliki keagungan dalam falsafah pembuatan dan penggunaan senjata pusaka tersebut. Namun, sejatinya, pulau Mangkasara[i] adalah pemulanya, pusat dimana peradaban besi pertama dimulai. Tidak aneh pula pulau tempatku dilahirkan dan besar itu dinamakan dengan Sulawesi yang berasal dari kata sula yang berarti pulau dan wesi yang berarti besi.

Kerajaan-kerajaan besar seperti Majapahit atau kerajaan Melayu Sriwijaya bolehlah sempat menguasai luas Nusantara sehingga memiliki kekuatan untuk unjuk diri dan pamer persenjataan mereka. Namun, tidak ada yang memiliki jajaran gunung-gunung purba penghasil tembaga putih[ii], salah satu bahan pembuat keris bermutu terbaik, selain di pulau Sulawesi yang kerap disebut Celebes dalam lidah orang-orang Farang[iii] Paranggi[iv] berkulit pucat dan bermata biru itu.

Tanah Luwu, salah satunya. Kerajaan purba ini tercatat memiliki ‘gunung besi’, seperti tertulis di I La Galigo.

Peradaban besi sudah tercatat sejak abad ke-8, berpusat di wilayah danau Matano yang dahulu merupakan Kerajaan Rahampu’u, didirikan oleh Lamatulia sang Mokole Ntii yang turun langsung dari kahyangan ke muka bumi, tepat di tengah mata air, Laa Laa, di sebuah batu berbentuk bulan sabit.

Bukankah agung kehebatan pulau dimana aku hidup tersebut? 

Orang-orang Mangkasara, Bugis atau Mandar sudah berkeliling dunia dengan kapal-kapal mereka. Kapal pinisi telah digunakan oleh putra mahkota kerajaan Luwu yang bernama Sawerigading berangkat ke Cina pada abad ke-14. Kapal padewakang yang dipersenjatai dengan cetbang atau lantaka mengarungi lautan sampai ke tanah Marege’[v] untuk berdagang teripang, ke pulau Sulu dan Mindanao, Janggi atau Papuwah[vi], sampai Semenanjung Malaya dan teluk Parsi.

Dari kebudayaan berlayar inilah, kemampuan membuat senjata pusaka diperkenalkan ke senatero Nusantara, tentu saja termasuk ke orang-orang Melayu dan Jawa yang akhirnya menempatkan keris sebagai ciri dan kebesaran mereka pula.

Sungguh, aku tidak keberatan dengan semua pengakuan dari bangsa-bangsa lain itu. Bukankah memang seperti itu jalannya sejarah? Satu budaya mempengaruhi budaya lain, satu kebiasaan mempengaruhi kebiasaan lainnya, satu penaklukkan mempengaruhi wilayah yang ditaklukkan, satu jenis keris berkembang ke jenis keris yang lain?

Aku juga sesungguhnya sudah cukup merasa nyaman tinggal di bagian barat pulau Jawa ini. Kesultanan Banten dibawah Sulthan Maulana Syarif Abdul-Fattah al-Mafaqih yang dikenal dengan Sultan Ageng Tirtayasa telah menerimaku bersama para pengikut setiaku di kerajaannya.

Aku bersama ratusan pengikut setiaku bersepakat untuk meninggalkan tanah kelahiran tercinta kami pada tahun 1660 Masehi, meninggalkan ibu pertiwi yang telah memberi kami makan dan menyusui kami dengan segala cintanya.

Aku dipermalukan oleh negeri sendiri, difitnah oleh orang-orang dari lingkaran kerajaan yang dekat dengan rajaku. Jelas karena aku dengan keras melawan kompeni Holanda[vii] dan segala kelicikannya. Ini membuat aku juga menentang beragam kebijakan raja yang seakan-akan menerima apa yang diajukan bangsa penjajah tersebut.

Lihat selengkapnya