Namaku Somdet Phra Narai Maharat, bergelar Ramathibodi Ketiga, Raja Narai Agung bangsa Siam. Aku adalah raja ke-27 Kerajaan Ayutthaya dan raja ke-4 yang berasal dari wangsa Phrasat Tong.
Di bawah kekuasaanku, Ayutthaya mencapai puncaknya. Kebesaran bangsa dan negara tidak hanya merupakan isapan jempol dan cerita-cerita yang dibesar-besarkan belaka. Aku memiliki hubungan yang baik dengan segala negara di muka bumi ini. Aku telah mengirimkan utusan ke negara-negara Barat seperti Prancis, Britania Raya[i] dan Vatikan di negeri Romawi. Aku juga mengirimkan utusan ke Parsi, Golkonda[ii] serta Cina. Tidak terhitung pula hubunganku dengan raja-raja Aceh, Mangkasara, serta Mataram dan Banten di pulau Jawa.
Ah, sejarah bangsa ini memang penuh dengan kemelut. Yang terkuatlah yang menang.
Ada alasan mengapa aku menitikberatkan beragam hubungan dengan negara-negara asing tersebut. Itu semata-mata demi kejayaan negeri dan keamanan diri.
Aku adalah putra dari raja Prasat Thong dan ibuku, Permaisuri Putri Sirithida. Ayahku merampas takhta dari wangsa Ayutthaya pada tahun 1629 dan membentuk sejarah wangsanya sendiri.
Lalu, bagaimana denganku? Sewaktu aku lahir, pada tahun 1632 Masehi, keluarga kerajaan bersaksi bahwa awalnya mereka melihat orokku bertangan empat, bukannya dua. Ayahku, sang raja, merasa bahwa ini adalah sebuah keajaiban. Aku akan menjadi orang besar, penguasa yang tercatat di dalam sejarah Ayutthaya. Maka, ia menamaiku dengan Narai, merujuk pada Narayana dalam bahasa Sansekerta, nama lain dari dewa Hindu yang memiliki empat tangan.
Nah, bagaimana aku tidak memiliki cita-cita dan keinginan besar dengan dasar kehidupanku yang seperti itu, bukan?
Setelah ayahku wafat, saudara tuaku, Pangeran Chai menjadi raja berikutnya bergelar Raja Sanpet Keenam. Aku tidak bisa terima begitu saja. Mengapa? Sederhana. Aturan dan budaya Siam adalah menempatkan saudara laki-laki di tempat yang utama dibanding anak laki-laki, terutama dalam hal takhta dan penggantian kepemimpinan.
Bersama pamanku, Pangeran Sudharmmaraja, yang merupakan adik laki-laki mendiang ayahku, kami mengadakan pemberontakan berdarah selama enam bulan. Kami berhasil. Paman menjadi raja Ayutthaya berikutnya bergelar Si Suthammaracha, sedangkan aku diangkat menjadi Uparaja, setara dengan wakil raja.
Namun, bukan Narai namanya bila semua selesai begitu saja.
Kekuasaan paman begitu lemah. Ia tidak becus dan pantas menyandang gelar raja. Selama menjadi Uparaja, aku menyaksikan betapa ia jatuh di dalam pengaruh seorang pejabat Muslim Parsi-Melayu bernama Chaophraya Chakri, yang sejatinya juga ingin memiliki takhta Ayyuthaya.
Maka, aku meminta bantuan orang-orang Holanda untuk menjatuhkan pamanku dari takhtanya.
Kesempatan datang pada tahun 1656 Masehi, dimana pamanku menggila. Ia mencoba mencabuli adik perempuanku sendiri, Putri Ratcha Kanlayani. Untung adik perempuanku itu berhasil melarikan diri dari para prajurit yang mengepung kediamannya.
Aku begitu marah dengan tindakan paman, sang raja. Maka, dengan dukukan Holanda, orang-orang Parsi dan para ronin[iii] Jepun, aku menyerang istana pada saat perayaan Ashura orang-orang Parsi Syiah.
Aku bahkan berhadap-hadapan dengan pamanku sendiri, tepat di depan takhtanya.
“Bangsat, kau, Narai. Engkau bersamaku menjatuhkan Chai, sekarang engkau ingin menjatuhkanku?” ujar paman saat itu.