Apa yang perlu kutakutkan dan khawatirkan dari para warga muslim tersebut, bukan? Kerajaan ini telah memiliki Sheikh Ahmad Qomi, pedagang muslim Parsi yang menetap di Ayutthaya pada tahun 1595 dan wafat pula di negeri ini pada tahun 1631 Masehi, di masa pemerintahan Athittayawong, raja sebelum ayahku, Prasat Thong, memerintah.
Sheikh Ahmad diangkat sebagai pejabat dengan pangkat tinggi di masa pemerintahan pendahuluku, Raja Somdet Phracao Songtham yang bergelar Intaracha Ketiga, sebagai Chao Kromma Tha Khwa, atau Penguasa Dermaga Kanan. Tugas muslim Parsi itu tidak main-main. Ia diberikan wewenang dalam hal perdagangan dan menyelesaikan perselisihan yang melibatkan orang asing, kecuali orang Cina. Pada dasarnya, urusan perselisihan semacam itu kerap dan khusu terjadi pada masyarakat muslim seperti Melayu, Champa, dan tentunya bangsanya sendiri, Parsi. Oleh sebab itu, ia dijadikan Sheikh al-Islam, Chula Rajmontri, tokoh Islam pertama dari penduduk muslim di negeri Siam ini.
Tidak hanya mengurusi perdagangan yang memang menjadi kelihaiannya atau mengurusi masyarakat muslim, Sheikh Ahmad juga berhasil diberikan tugas untuk menumpas dan mengalahkan pemberontakan pedagang Jepun[i] pada tahun 1611 Masehi.
Bahkan sampai sekarang, jabatan itu masih dipegang oleh keturunan Sheikh Ahmad. Pada tahun 1620 Masehi pun, raja pendahuluku telah mengizinkannya untuk membangun sebuah masjid bernama Takiaayokin yang beraliran Syi’ah.
Namun, pertama kali melihat seorang Daeng Mangalle yang menghadap ke hadiratku, aku sudah merasa ada hal yang sungguh berbeda ada padanya.
Laki-laki Mangkasara itu duduk bersila bersama beberapa orang kepercayaannya. Ia masih cukup muda, bahkan aku mendengar ia baru saja menikah. Mungkin usia kami kurang lebih sama. Hanya saja, entah bagaimana aku dapat bercermin di guratan wajahnya. Wajah yang penuh perjuangan dan pengalaman berperang.
Kulitnya yang gelap cenderung gosong terbakar matahari itu melekat di lekukan otot-otot liatnya, yang meski tubuhnya dibalut kain sutra dengan mutu terbaik yang orang Mangkasara punya, lengan, leher dan kaki telanjangnya tak mampu menutupi kesan itu.
Lalu kemudian apakah sesungguhnya aku takut? Tidak! Apa aku khawatir? Saat itu belum terpikirkan. Sekarang? Ya!
“Ampun, Tuanku, Yang Mulia Paduka Raja Kerajaan Ayutthaya, raja warga Siam yang hamba hormati dan elu-elukan, Somdet Phra Narai Maharat. Hamba, Daeng Mangalle, pemimpin dari masyarakat Mangkasara yang berangkat dari Banten, pulau Jawa, menghaturkan sembah dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kebaikan Paduka yang tak terhingga dalam menerima hamba berserta 250 warga Mangkasara berserta sanak keluarga di tanah Ayutthaya ini,” begitu ucapnya seperti yang diulang petugas penerjemahku.
Bahasa Mangkasara yang ia ucapkan terdengar merdu di telingaku, tetapi di saat yang sama terasa tegas, naik turun tetapi berani. Ah, apa mungkin penilaian seorang bangsa juga bisa terlihat dari bahasanya?