AMUK!

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #5

Kepala

Ketiga orang Champa muslim tersebut adalah para pangeran di negerinya. Kakak tertua mereka bernama Po Saut, yang kadang dipanggil juga dengan Wan Daim. Po Saut adalah raja dari Kerajaan Panduranga yang memiliki hubungan cukup rumit dengan negara tetangganya, yaitu Dai Viet[i] yang menguasai wilayah utara dan tengah seperti Tonkin dan Annam.  

Seperti yang kuketahui, Kerajaan Dai Viet dan Champa sudah berperang sedari lama. Di abad ke-14, tepatnya pada tahun 1367 sampai 1390 Masehi, peperangan panjang membuat kedua kerajaan berada di dalam keadaan yang kacau balau. Tidak hanya itu, Dai Viet pun pernah bertentangan dengan kerajaan Sukhotai, kerajaan lama orang-orang Siam sebelum Ayutthaya.

Dai Viet masih belum berhenti berperang dengan Champa meski selalu melalui pasang surut. Contohnya saja, saat ini Champa sebenarnya berada di bawah kekuatan dan ancaman Dai Viet. Itu sebabnya, setelah tahun 1653 Masehi, dimana Champa dikalahkan oleh Dai Viet dan wilayah Phan Rang ditaklukkan dan diambil oleh Dai Viet, Champa memutuskan untuk memberikan upeti kepada trah keluarga Nguyen yang berkuasa di Dai Viet.

Keadaaan yang rumit ini memaksa Po Dharmma, Po Inra dan Po Klaung[ii] untuk meninggalkan kerajaan Champa, minggat bersama para pengikut setia mereka, mencari perlindungan ke negeriku, Siam. Ketiga saudara itu yakin bahwa Po Saut berencana untuk kembali mencoba melawan Dai Viet, mengambil kembali Phan Rang, dan bila perlu mengalahkan kerajaan di bawah trah Nguyen itu. Masalahnya, Po Saut menjadi setengah gila. Ia akan menyingkirkan siapa saja yang menentang kehendaknya, tidak peduli bila itu adalah saudara-saudaranya sendiri.

Aku, Chao Fa Noi, menjadi saksi kebaikan hati Ayutthaya menampung para pelarian dari negeri asing itu.

Orang-orang Islam dari bangsa Champa itu memiliki banyak kesamaan dengan orang-orang Islam lain seperti Melayu, Minangkabau, Jawa dan Mangkasara. Akan tetapi, mereka memang memiliki beberapa perbedaan dengan orang-orang Syi’ah Parsi, sehingga ada sedikit ketidakcocokan diantara mereka, terutama dalam perihal keimanan dan tata cara keagamaan.

Po Dharmma yang paling dekat dengan Ayutthaya. Ia bahkan menjabat sebagai seorang abdi dalem Istana Kerajaan Agung di Ayutthaya maupun di Lopburi. Sedangkan, kedua adik laki-lakinya, tinggal sendiri di pemukiman kaum Champa di Kochi. Po Dharmma, seperti yang ia ucapkan kepada kakak laki-lakiku, sang raja Ayutthaya, Phra Narai, ingin mengabdi sebagai bagian dari kerajaan untuk menjembatani antara budaya dan masyarakat Champa dengan Siam demi hubungan baik serta kekal antara dua bangsa.

Bertahun-tahun lalu, kedua kakak-beradik itu datang padaku. Sejatinya, mereka telah melakukan pendekatan sejak lama untuk sampai pada kesempatan ini.

Po Inra, yang termuda diantara ketiganya, berwajah periang, banyak omong, tetapi sesungguhnya yang paling berbahaya. Lidahnya lebih tajam dari keris Champa yang lebih pendek dari keris Melayu, Jawa, atau Mangkasara itu. Kain sarung menutupi bagian bawah tubuhnya, terbuat dari sutra halus berwarna ungu terang berpola bunga-bunga. Pakaiannya longgar berlengan panjang, berkancing, berwarna biru cerah, dilengkapi dengan pelindung kepala bernama kapeak berwarna merah jambu. Cara berbusananya saja menunjukkan betapa berani sosok Pangeran Champa ini.

“Bila Tuan perhatikan, kelompok masyarakat muslim di Ayutthaya sudah begitu besar,” ujar Po Inra. Wajahnya menyunggingkan senyuman tipis. Bahasa Siamnya memang tidak sempurna, tetapi sangat dapat dipahami.

“Kerajaan ini tak akan mampu menahan lebih lama lagi gelombang orang-orang Melayu, Champa dan tentu saja Mangkasara. Kemana Tuanku hendak berpijak? Kemana kapal Tuan hendak Tuan jalankan ketika layar telah berkembang?” lanjut Pangeran Cham muda yang kini semakin menunjukkan senyumnya yang cenderung terkesan licik itu.

“Aku tahu apa maksudmu, Po Inra.” Aku berusaha terlihat tenang.

Lihat selengkapnya