AMUK!

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #6

Turban atau Kematian

Bagaimana kami tidak meradang melihat perempuan-perempuan tidak berpenutup payudara, apalagi kepala, di mana-mana? Banyak dari perempuan Siam berjalan-jalan di pasar dengan selembar kain yang dililitkan di pinggang dan selembar kain lagi dikalungkan di leher, tak mampu menutupi sama sekali payudara mereka yang dipertontonkan tersebut. Tidak peduli anak kecil, gadis perawan sampai tua bangka. Hanya perempuan-perempuan kaya atau berdarah bangsawan saja yang membalut dada mereka dengan kemban, itu pun masih tak mampu menutupi semuanya. 

Begitu pula dengan gaya potongan rambut laki-laki dan perempuan yang hampir tiada beda. Mereka mencukur rambut mereka seperti sapu, memotongnya sangat pendek dan mencukur rata kedua sisi pelipis.

Bangsa Farang Nasranilah yang memberikan pengaruh mereka pada kerajaan sehingga para pembesar pun mulai berpakaian penuh, menutupi tubuh telanjang mereka. Meskipun aku setuju dengan pemikiran mereka untuk menutupi aurat warga Siam, pengaruh mereka ini sungguh berbahaya karena pada akhirnya akan membawa kerajaan memilih agama barat itu dibanding Islam.

Tanah Mangkasara yang aku tinggalkan sudah tercemari lebih dahulu oleh bangsa Farang kafir sejak kepemimpinan Yang Mulia Sultan Hassanudin, ayahandaku. Sampai ia wafat tahun 1670, 11 tahun yang lalu. Holanda kemudian semakin mencabik-cabik bumi negeri tempat lahirku itu dengan racunnya.

Kini, tanah tempatku dan kaumku bernaung juga menawarkan kotoran yang sama. Orang-orang Nasrani Prancis, Paranggi, Britania Raya bahkan Holanda diberikan tempat ibadah dan jabatan penting di dalam kerajaan. Orang-orang Syi’ah Parsi diizinkan menjadi penjilat serta mendapatkan jabatan penting selama beberapa keturunan pula. Orang-orang Syi’ah itu bukan saudara-saudaraku.

Po Inra dan Po Klaung berkata kepadaku bahwa mereka menyebarkan berita burung bahwa saudara tiri tua Paduka Raja Chao Fa Aphitot[i]lah yang berusaha ingin menjatuhkan kekuasaan dan merebut takhtanya, bukan Chao Fa Noi. Rencana ini sungguh berhasil. Chao Fa Aphitot ditempatkan di dalam penjara rumah, di dalam wilayah istana, meski Paduka tetapi tetap mengampuninya. Paduka Phra Narai ingin menunjukkan kebaikan hatinya, membuat para pembangkang untuk berpikir kembali. Ia membuat semua orang yang berniat menjatuhkannya menjadi bingung dengan kebaikan, sekaligus hukuman keji yang diperintahkan kepadanya bagi beberapa tokoh.

“Perjuangan pasti memerlukan korban, bukan, Tuan Daeng Mangalle?” ujar Po Inra menggunakan bahasa Melayunya yang sangat fasih, setelah empat tahun kejadian atas rencana pemberontakan kami itu gagal dan diketahui Paduka Raja.

Wajahnya tidak pernah berubah, selalu terlihat muda, bersinar-sinar ceria, cerdas, tetapi juga sangat berbahaya di saat yang sama.

Lihat selengkapnya