Daeng Mangalle, tokoh muslim Mangkasara yang terhormat itu menjelaskan kepadaku bahwa kedekatan Paduka Raja Phra Narai dengan orang-orang Farang Nasrani Katolik memiliki pengaruh luar biasa besar. Paduka raja sebentar lagi bisa saja memeluk agama barat itu. Para sangha[i] Buddha saja khawatir karena sang raja bukanlah pemeluk Buddha yang saleh dan taat. Ia tidak seperti raja-raja pendahulunya yang membangun banyak kuil dan patung-patung Buddha di seantero negeri.
Awalnya, Daeng Mangalle mengunakan kesempatan ini dengan mendekati sang raja melalui orang-orang Syi’ah Parsi. Beliau bahkan telah menyurati Raja Parsi Wangsa Safawiyah untuk membujuk agar Paduka Phra Narai memeluk Islam, atau mengenal Qur’an dengan lebih dekat terlebih dahulu.
Ini tidak berhasil.
Ayutthaya memiliki sejarah panjang dengan orang-orang Syi’ah Parsi. Bahkan beberapa tahun yang lalu, tepatnya di tahun 1679 Masehi, Paduka Raja Phra Narai mengirimkan pasukannya untuk menghancurkan kerajaan Singora, kerajaan kecil di tanah Siam yang didirikan oleh keturunan Raja Parsi. Serangan itu memakan waktu sampai 6 bulan dan Singora akhirnya hancur di tahun 1680.
Lagipula, aku rasa semua muslim Melayu setuju bahwa bukanlah sebuah keputusan yang benar melibatkan orang-orang Parsi. Pertama, mereka adalah penganut Syi’ah, yang memiliki banyak sekali perbedaan keimanan dengan kami meski sama-sama menggunakan Qur’an sebagai pedoman. Kedua, orang-orang Parsi adalah para pengecut dan penjilat yang bersembunyi di balik ketiak kerajaan. Mereka telah cukup kenyang di dalam benteng Ayutthaya sebagai pengikut raja yang semakin dekat dengan orang-orang kafir itu.
Tidak heran, Daeng Mangalle setuju dengan dua orang pangeran Champa itu. Po Inra adalah yang paling bertekad, berhasrat dan berkeras hati. Mereka terusir dari negerinya sendiri karena harus bersaing dengan saudara tua mereka sendiri untuk mendapatkan tampuk pemerintahan kerajaan. Dengan menguasai Ayutthaya di bawah panji-panji Islam, makin mudah bagi mereka untuk kembali ke Champa dengan kekuatan yang lebih besar.
“Dengan bantuan Tuan Mahmud sebagai tokoh Melayu yang sangat dicintai, serta Sheikh Ismail al-Farani[ii] sebagai ulama yang dipercaya oleh umat, sahaya[iii] meminta dukungan dan tolong agar semua rencana ini dapat terlaksana. Tolong Tuan Mahmud yang sahaya hormati ini bisa menerima pinangan kerjasama sahaya yang juga turut mewakili Yang Terhormat Daeng Mangalle, Pangeran Mangkasara, beserta rakyat Champa seluruhnya.”
Begitu pertama kali permohonan Po Inra kepadaku. Lama-kelamaan, aku menjadi sadar bahwa gerakan ini memang harus terjadi. Bukan karena kilat semangat dan hasrat yang terpancar di permukaan kedua bola mata Pangeran yang paling muda dari ketiga pangeran yang terusir dari Champa atau kebijaksanaan yang terpancar dari wajah Daeng Mangalle yang terukir di dalam ingatanku, tetapi juga dari tanda-tanda yang Allah berikan secara nyata.
Po Inra juga menjelaskan bahwa ia telah melihat sebuah ramalan masa depan yang dikirimkan oleh Allah. Di akhir tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 14 Muharram 1097 Hijriyah[iv], terjadi gerhana bulan. Bahkan menurut pemberitaan dari sumber-sumber terpercaya di dalam istana, sang Paduka Raja Phra Narai pun mengamati gerhana ini di kedatonnya, Kraison Siharat di Thale Chup Son, Lopburi.
Pangeran Po Inra, berdiri bersama saudara tuanya, Po Klaung. Aku dan Sheikh Ismail al-Farani mengapit sisi kiri dan kanannya. Kami semua berada di hadapan para rakyat muslim Melayu.