Namaku Constantine Phaulkon. Aku adalah seorang petualang dari Yunani yang dikenal sebagai negeri para dewa. Rambutku berwarna segelap malam, sedangkan mataku soga sedikit lebih terang dibanding kulitku yang serupa zaitun tetapi menggelap karena terpapar sinar mentari selama perjalananku mengembara di atas kapal selama bertahun-tahun.
Orang-orang Prancis menyebutku dengan panggilan Monsieur Constance sedangkan orang-orang Paranggi memanggilku sebagai Capitao Falcao. Ini penting karena dengan merekalah kemudian aku bekerja. Banyak dari orang-orang Paranggi dan Prancis menjadi bawahanku, terutama para prajurit dan tentara. Jangan lupa pula, karena mengemban jabatan perdana menteri yang paling dipercayai oleh Sang Paduka Raja Phra Narai kerajaan Ayutthaya, aku juga mendapatkan gelar kehormatan, Chao Phraya Wichayen.
Pada usia ke-13, aku berangkat ke London, kerajaan Britania Raya. Aku mengabdi pada angkatan laut kerajaan tersebut, menjadi seorang prajurit. Bertahun-tahun aku mengalami sendiri peperangan laut bersama Britania Raya melawan orang-orang Holanda. Di masa itulah aku ditempa sedemikian rupa sehingga berpengalaman di dalam hal siasat perang. Itu masih kubuktikan ketika menjadi salah seorang anggota penembak meriam serta tukang ketik kapal Hopewell Britania Raya yang berlayar ke kerajaan Banten, dimana pertemuan dan peperangan dengan kapal Holanda di tengah lautan masih kerap terjadi.
Aku memang memiliki banyak sekali kemampuan dan keahlian. Bayangkan saja, dalam beberapa tahun setelah sampai di Siam tahun 1675, aku mendapatkan perhatian langsung dari Baginda Paduka Raja. Kemampuanku yang cepat dalam banyak hal, termasuk mempelajari bahasa, membuat jenjang pekerjaanku naik cepat. Selain bahasa Yunani, aku mampu berbahasa Britania Raya, Prancis, Paranggi, Siam dan Melayu. Itu sebabnya aku dipekerjakan oleh Tuan Kosa Lek pada tahun 1679 di pengadilan kerajaan Phra Klang, mengurusi hubungan perdagangan antar negara.
Kemampuan keprajuritanku memang tiada perlu dipertanyakan lagi, tetapi Paduka Raja nyatanya terpesona dengan kepiawaianku dalam hitung-menghitung. Aku pernah menghitung persisnya berat sebuah meriam dan membuktikannya kepada sang Raja. Aku juga pernah menyelesaikan sebuah perkara keuangan, dimana para pedagang Parsi menuntut kerajaan Ayutthaya telah merugikan mereka, yang pada kenyataannya yang berhasil kubuktikan kemudian, para pedagang Parsi itulah yang sesungguhnya merugikan kerajaan.
Tidak heran Paduka Raja begitu menghargai dan mengasihiku. Kemampuanku dalam perihal perhitungan, takaran, dan siasat dalam berbagai hal membuat aku mendapatkan jabatan sebagai perdana menteri kerajaan. Walau, jujur, keputusanku untuk mengabdi secara penuh kepada kerajaan Ayutthaya ini bukan karena segala kegelimangan pangkat dan kehormatan itu.
Adalah Maria Guyomar de Pinha, seorang perempuan Ayutthaya yang luar biasa cantik serta memesona berdarah campuran Jepun, Paranggi dan Bengali[i] yang membuatku jatuh cinta setengah mati serta memutuskan menikahinya. Aku bahkan meninggalkan agama Nasrani Anglikan, agama kerajaan Inggris, untuk memeluk Nasrani Katolik orang-orang Paranggi dan Sepanyo yang dianut oleh istriku itu. Bersama Maria, yang bernama Siam Thao Thong Kip Ma itu, kami memiliki dua orang putra bernama George ‘Jorge’ Phaulkon dan Constantin “Joao’ Phaulkon.
Tanah Ayutthaya tentu menjadi tempatku bernaung selamanya.