AMUK!

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #9

Tentara

Tentu saja aku tidak sungguh-sungguh meminta Po Dharmma untuk melakukan sesuatu. Aku sadar ia sedang berusaha sekuat tenaga mencari jawaban atas pertanyaan dirinya sendiri, mencoba mencocokkan kenyataan ini dengan akal sehatnya.

Namun, aku tidak bisa tinggal diam.

Aku segera memerintahkan 3.000 orang pasukan Siam dibawah mandatku untuk menjaga Istana Kerajaan Agung Ayutthaya yang berada di dalam dinding kota. Para panglima dan punggawa langsung bergerak cepat dengan bersenjatakan tombak atau ngao, daab dan bedil. Pasukan pejalan kakiku yang di dalam bahasa Siam disebut kon raab khamen[i] ini semua berbusana merah sampai ke penutup kepala, berikat pinggang kuning, dan tak berkasut. Hanya panglima yang mengenakan kasut di kedua kakinya, serta berpelindung kepala mahakuta[ii].

Di istana, aku bergegas mencari Claude de Forbin, seorang anggota angkatan laut Prancis di negeri Siam. Ia adalah duta besar negeri Prancis yang sama seperti negeri Paranggi, memiliki tujuan untuk memperkenalkan Nasrani Katolik dengan lebih baik ke Ayutthaya. Laki-laki berwajah telur itu aku perintahkan untuk dengan segera menyambangi Bangkok. Sebagai seseorang yang dikenal sebagai ahli siasat, aku juga curiga bahwa persiapan pemberontakan ini juga disiasati di Bangkok pula, dimana salah satu benteng utama Ayutthaya juga terletak di tempat itu. Bila benteng Bangkok runtuh dari dalam, maka jelas Ayutthaya akan kehilangan salah satu kekuatan perlindungannya pula.

Aku memberikan perintah dan siasat untuk menggugurkan kemungkinan rencana pemberontakan yang bakal dilakukan oleh kekuatan muslim Mangkasara lain di sana.

Walau terkejut, Forbin berusaha terlihat setenang mungkin. Segenting apapun keadaan ini, ia adalah seorang tentara, seorang Katolik Prancis yang diembankan tugas menjadi duta negeri oleh kerajaannya.

“Apa yang hendak Monsieur perintahkan kepada sahaya, Monsieur Constance?” tanya Forbin dalam bahasa Prancis. Suaranya tidak begitu dalam, tetapi juga tidak melengking tinggi.

“Sesampainya di Bangkok, selain memberikan perintah kepada para pasukan Siam, aku perintahakan untuk pembebasan para pasukan Paranggi yang ditahan dan dipaksa bekerja di galangan kapal untuk dibebaskan. Beri mereka bedil dan senjata untuk bertempur di bawah para perwira yang sebelumnya telah diberhentikan dari jabatan mereka. Kita memerlukan banyak prajurit untuk menahan laju orang-orang muslim Mangkasara,” ujarku.

“Ah, Monsieur. Apakah Monsieur yakin untuk menggunakan mereka di dalam tugas ini? Bukankah mereka adalah para tentara yang terlibat di dalam banyak permasalahan dan kejahatan di dalam negeri Ayutthaya?” balas Forbin.

Aku tahu kata-kata ‘anak baru’ ini memiliki makna tersembunyi. Banyak pihak yang tahu bahwa aku kerap menggunakan orang-orang Paranggi untuk berbagai keperluan yang kelak aku harapkan dapat membantu kedudukan dan pangkatku di kerajaan. Mungkin sekali Forbin curiga bahwa aku memainkan peran orang-orang Paranggi yang kuhukum dan kemudian kubebaskan itu demi kepentinganku sendiri. Ia jelas tak salah bila berpikir demikian. Dengan membebaskan orang-orang Paranggi, aku memberikan mereka harapan dan akhirnya dapat menuntut kesetiaan dari kesatuan-kesatuan para prajurit tersebut.

“Tidak perlu berpikir terlalu rumit, Tuan Forbin. Kita dikejar oleh setan bernama waktu dan kita memerlukan sebanyak mungkin sumber daya. Memang banyak dari para tentara Paranggi itu terlibat kerusuhan, kekacauan dan pemberontakan kecil. Namun, dengan diberikan kesempatan, mereka pasti akan mengambilnya dibanding harus mati tanpa harga diri bekerja paksa mati-matian di galangan kapal. Jangan lupa, mereka adalah para tentara, prajurit negeri Paranggi yang sedari awal sama seperti engkau, Tuan Forbin, dipersiapkan untuk bertempur.”

Forbin menghela nafas dan mengangguk. Entah apa yang dipikirkannya saat itu, tetapi ia tidak bisa menolak penjelasan masuk akal yang aku ungkapkan. Ia segera saja mengenakan pelindung dada besinya, meminta seorang prajurit mengikat erat rompinya tersebut.

Lihat selengkapnya