AMUK!

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #10

Sauh Diangkat

Telah 22 tahun kami berada di negeri Siam ini. Aku sendiri telah beberapa kali berlayar pulang ke kerajaan Gowa, tanah lahirku, selain ke negeri-negeri lain di nusantara dengan tujuan perdagangan.

Aku tak bisa mengatakan bahwa aku cukup beruntung untuk bisa kembali menginjak tanah kelahiran, terutama dibandingkan Tuan Daeng Mangalle serta rekan-rekan sesama rakyat Mangkasara di Siam. Bagaimana bisa dikatakan beruntung, karena terjadi perubahan besar di dalam negeri itu, negeri yang sudah hampir tak kukenal.

Sultan Hassanudin sudah lama wafat. Kerajaan Gowa juga sudah dikalahkan, dan kali ini sungguh-sungguh, oleh Kompeni Holanda yang bekerja sama dengan kerajaan Bugis Bone dibawah raja mereka, Arung Palakka.

Setelah Bone memenangkan perang melawan Gowa, kini orang-orang Bugis juga mendapatkan kemerdekaan dan kebebasan yang lebih besar dibanding sebelum-sebelumnya. Mereka memenuhi laut sebagai pedagang dan perompak. Ini karena kebebasan dan kekuasaan yang mereka dapatkan tersebut sehingga mereka semakin berani dan bertindak berlebihan.

Kini, Kesultanan Gowa dirajai oleh Yang Mulia I Mappadulung Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone Sultan Abdul Jalil Tuminanga ri Lakiung, yang berkuasa sejak tahun 1677 Masehi. Sejak Gowa ditaklukkan, jangkauan dan sepak terjang kami orang-orang Mangkasara menjadi terbatas karena disaingi oleh orang-orang Bugis.

Namun begitu, Yang Mulia, tahu bahwasanya orang-orang Mangkasara berjuang di berbagai tempat, melawan orang-orang Farang kafir dan mempertahankan siri’ mereka, memberikan restu dan dukungannya.

Lima tahun yang lalu, rencana kaum muslim Ayutthaya yang terdiri atas orang-orang Melayu, Champa dan Mangkasara ternyata telah diketahui oleh kerajaan. Beberapa orang dihukum mati dan dipertontonkan ke khalayak untuk memberikan peringatan atas apa yang akan terjadi bila perilaku serupa dilakukan. Raja Phra Narai di sisi yang lain mengampuni para tokoh yang terlibat di dalam rencana itu, termasuk kedua adik tirinya sendiri, meski mereka ditempatkan di dalam wilayah istana sebagai bentuk pengawasan.

Bagi Tuan Daeng Mangalle, ‘kegagalan’ ini malah memberikan kesempatan yang lebih banyak untuk berjuang. Ayutthaya, negeri beragama Buddha ini sudah harus menjadi negeri yang dirahmati Allah dengan agama sempurna-Nya. Apalagi kebencian kami, orang-orang Mangkasara, kepada para Farang Prancis, Paranggi dan Britania Raya yang dengan kuat mempengaruhi kerajaan dan mungkin sekali membawanya kepada kekufuran, dimana pengaruh itu membuat raja dan para abdinya bisa saja memeluk agama Nasrani suatu saat nanti.

Mendengar perjuangan Tuan Daeng Mangalle untuk melawan orang-orang Farang, Yang Mulia Sultan Abdul Jalil memutuskan untuk membantu kami, orang-orang Mangkasara di negeri Siam. Bukan mengapa, sejak dahulu Tuang Daeng Mangalle sudah terkenal sebagai sosok yang teguh menolak kehadiran orang-orang Farang di Gowa, termasuk kerjasama dengan mereka. Orang-orang Paranggi yang terusir dari Gowa sejak kekalahan perang, kini tergantikan dengan penjajahan orang-orang kompeni Holanda.

Pada tahun 1096 Hijriah atau 1685 Masehi, tepat setahun yang lalu, aku menakhodai salah satu dari dua kapal pinisi dari pulau Mangkasara ke Siam. Itu adalah perjalanan perdagangan biasa, tetapi kali itu, Sultan Abdul Jalil memberikan hadiah dan para budak kepada Tuang Daeng Mangalle sebagai bentuk dukungan perjuangannya. Tentu saja orang-orang Siam tidak curiga, karena toh pelayaran ini biasa dan cukup awam.

Satu kapal Mangkasara telah berangkat, sedangkan kapal yang aku nakhodai akan berlayar meninggalkan Siam pada 4 Syawal 1097 Hijriah[i], yaitu hari ini.

Kami telah mendengar bahwa rencana kedua mengenai pemberontakan ini, memperkirakan bahwa sejenak lagi Ayutthaya akan terbakar oleh gelora peperangan.

“Sayangnya kita harus meninggalkan Bangkok. Pusat pemberontakan ada di Ayutthaya dan Lopburi, kita berada cukup jauh dari sana,” ujar Daeng Tammu, sang panglima perang. Passapu merah menyala hampir tak pernah lepas menutupi kepalanya. Rambut panjangnya yang kini telah dihiasai dengan secercah helai-helai rambut berwarna putih itu sama sekali tidak mengurangi gambaran pribadinya yang gagah dan kokoh tersebut.

Lihat selengkapnya