Kapal Mangkasara itu berhasil meninggalkan dermaga menuju lautan bebas untuk mengembangkan layar. Mereka sungguh adalah para pengecut yang meninggalkan tuan mereka untuk menyelamatkan diri. Mereka pasti sudah tahu bahwa rencana pemberontakan untuk kedua kalinya terhadap Yang Mulia Paduka Raja Phra Narai sudah diketahui. Melihat bahwasanya rencana tersebut akan gagal, mereka kabur, berlari sekencang-kencangnya.
Apa yang orang-orang katakan mengenai orang Mangkasara sebagai para pemberani, nekat dan tak tahu rasa takut itu kurasa berlebihan.
Sejak keberangkatan dua kapal kami dari pelabuhan Brest, Prancis, satu bernama Oiseau yang bersenjatakan 30 meriam, dan satu pregata[i] bernama Maligne bersenjatakan 30 meriam tahun lalu, tepatnya pada tanggal 3 Maret 1685 dalam penanggalan Gregorian atau Masehi, telah banyak hal yang aku hadapi.
Kapal kami sampai di pelabuhan Batavia 3 bulan kemudian, yaitu tanggal 3 Agustus tepatnya.
Aku seorang tentara berpangkat Lieutenant[ii] dibawah Capitaine Chaumont yang juga bertugas sebagai seorang mualim arah[iii]. Nama lengkapku Calude de Forbin Gardanne, meski aku tahu tidak sedikit dari orang asing dari Britania Raya atau Paranggi yang diam-diam memanggilku dengan si wajah telur, termasuk si penasehat raja, perdana menteri berdarah Yunani yang bernama Phaulkon, atau biasa kupanggil sebagai Monsieur Constance itu.
Di Batavia terjadi sedikit ketegangan dengan penguasa Holanda disana, jelas karena Holanda dan kerajaanku baru saja berhenti berperang. Orang-orang Holanda Batavia curiga bahwa kedatangan orang-orang asing lain, seperti kami orang Prancis, seakan sedang melibatkan diri pada pertikaian dengan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten menghadapi putranya yang didukung oleh Holanda.
Setelah dugaan kecurigaan itu tak terbukti, barulah kami dilayani dengan baik. Namun begitu, kami tidak berada di Batavia lama karena harus segera ke negeri Siam sebagai bentuk balasan kerjasama, dimana tahun 1684, dua pejabat Siam dikirimkan ke Prancis dan dihadapkan pada Raja Louis Keempatbelas di istana Versailles.
Kedua kapal Prancis kami, Oiseau dan Maligne berhasil sampai ke muara sungai Menam, Siam.
Aku terkejut melihat keadaan Siam pada waktu itu. Tidak semegah Batavia atau Banten, apalagi Prancis, negeriku. Rumah-rumah penduduk dibuat dari bambu atau kayu, didirikan sepanjang jalan. Rumah warga yang terbaik hanya terbuat dari batu bata, cukup kecil dan tidak kokoh. Meskipun istana raja memang lebih luas dan megah, tetapi tidak dibuat dengan citarasa yang baik.
Namun, sebagai seorang yang beragama Nasrani Katolik, satu hal yang membuatku mencelos. Rakyat hampir semuanya bertelanjang, tidak laki-laki, tidak perempuan. Tidak orang dewasa, tidak anak-anak. Mereka hanya mengenakan selembar kain yang ujung depannya diikat ke belakang, membentuk semacam celana sepanjang paha atau betis. Para perempuan berambut sangat pendek, seperti kaum laki-laki, dimana payudara mereka terbuka begitu saja. Memang ada yang menutupinya dalam dengan kain kemban, tetapi itupun masih tidak benar-benar menutupi semua bagian tubuh mereka dan mungkin orang kaya saja yang melakukannya.
Setelah lama berada di Siam, mungkin aku harus mengakui bahwa ini adalah salah satu – atau mungkin satu-satunya – hal yang orang Nasrani dan Islam setujui bersama, bahwa perempuan harus menutup tubuhnya dengan lebih baik, juga berperilaku dan berpenampilan berbeda dari laki-laki.
Di Siam, aku mengabdi kepada Paduka Raja Phra Narai yang selalu terlihat takut dan khawatir. Ini bisa diwajari karena kekuasaan yang ia dapatkan sekarang ini hasil dari pertumpahan darah. Oleh sebab itu, ia sangat membutuhkan dukungan dari masyarakat dan kerajaan asing untuk memperkuat lapisan pertahanannya.
Sialnya, Paduka tidak tahu bahwa masyarakat asing yang dia berikan tempat di Ayutthaya itu juga merupakan orang-orang yang membahayakan takhtanya sendiri.