Bila saja aku mendengarkan apa kata Alvaro, maka kejadian ini mungkin akan dapat kuhindari.
Daeng Tammu, datang dengan lima orang bawahannya. Mereka bertelanjang dada, bersarung dan berikat kepala. Hulu keris menyembul di pinggang mereka.
Seorang pejabat Siam, diluar 20 prajurit Siam dan Prancis, menerjemahkan kata-kataku dengan menggunakan bahasa Melayu dan Siam kepada Daeng Tammu dan lima orang Mangkasara itu. “Sahaya terpaksa, sungguh terpaksa untuk menangkap Tuan Daeng Tammu. Namun, ini adalah perintah dari Yang Mulia Paduka Raja yang tidak mungkin sahaya tidak acuhkan. Sekalipun begitu, sahaya yang menjamin bahwa Tuan Daeng Tammu akan diperlakukan dengan baik dan hormat. Baiklah, kami akan melucuti keris dan badik Tuan-Tuan sekalian.”
Aku terlambat melihat amarah yang menggulung dan meledak di wajah sang pemimpin Mangkasara itu setelah mendengar pejabat Siam yang menerjemahkan kata-kataku tersebut. Aku juga menyepelekan kekuatan dan marabahaya yang ditimbulkan oleh keris dan badik yang mereka bawa.
Sang pemimpin, Daeng Tammu, yang semula duduk bersila, mendadak berdiri dan berteriak keras. Otot-otot wajahnya mengeras, matanya melotot. Ia melepaskan keris dari pinggangnya, kemudian meloloskan bilah melengkung itu dari warangkanya.
Tindakannya itu langsung ditiru oleh lima orang lain.
Tanpa sempat kucegah, Daeng Tammu mencelat cepat dan menikamkan keris ke lambung sang pejabat Siam. Ia tewas ditempat dengan luka menganga menyobek perut sampai mematahkan tiga tulang iganya.
Lima pengikutnya meraih ikat kepala mereka dan melemparkannya ke lantai sebagai tanda amarah mereka yang memuncak karena harga diri mereka telah terinjak-injak. Sebentar saja badik dan keris sudah terhunus. Bagai kesetanan mereka semua berteriak keras, melompat, menerjang, menyeruduk dan menusuk dengan ganas enam pejabat Siam yang lain.
Teriakan rasa sakit dan sekarat bercampur dengan teriakan mengerikan para penyerang. Perut, dada dan leher pejabat Siam sobek, mengucurkan darah, melepaskan nyawa dari tubuh mereka.
Aku bergitu tersentak tetapi masih bisa mundur dengan cepat sebelum salah satu dari orang Mangkasara itu dapat mencapaiku.
“Tembak mereka!” seruku kepada para prajurit.
Letusan bedil memekakkan terlinga. Asap putih mengepul tebal.
Sialnya aku harus memerintahkan untuk menembak mereka lagi. Keenamnya menubrukkan tubuh mereka sembari terus mencoba menusukkan keris dan badik mereka ke arah lawan.
Satu orang Mangkasara akhirnya tumbang. Kemudian satu lagi. Satu lagi. Aku meloloskan bedil tanganku dan berjaga-jaga.
Dibalik kepulan asap putih, empat orang Mangkasara tewas berkubang di darah mereka sendiri setelah lebih dari satu pelor menembus kulit mereka.