“Engkau tahu, menggemu[i], I Patau, sama usianya denganmu sekarang ketika pertama kami menyentuh tanah Siam ini?” ujarku pada I Rampang[ii].
Anak itu masih berusia 13 tahun. Namun, persis seperti sang ayah, I Rampang juga memiliki kehendak yang kuat. Tahun ini sudah merupakan tahun keduanya ikut berlayar bersama kapalku, bahkan sampai ke tanah Mangkasara, tempat leluhurnya lahir dan membangun negeri.
I Patau, anak angkat Tuan Daeng Mangalle, dengan bangga menyerahkan I Rampang yang saat itu masih berusia 10 tahun untuk ikut berlayar bersamaku.
“Ia sama denganku sewaktu masih muda. Berikanlah ia ilmu kelautan Daeng yang terbaik. Daeng sebagai nakhoda adalah raja di atas kapal di tengah lautan. I Rampang adalah rakyat Daeng. Ia akan tunduk pada semua perintah yang Daeng berikan,” ujar I Patau padaku dahulu.
Kini, anak muda itu, walau wajahnya lebih mirip ibunya, seringai itu tak pelak adalah tiruan terbaik dari sang ayah. Aku mengenal sekali semangat itu, semangat menyongsong kematian.
I Rampang menatapku dalam-dalam. “Daeng, kalau boleh aku tebak, panglima perang kita mungkin berada dalam keadaan yang paling buruk. Malah mungkin beliau telah wafat di dalam sana,” ujar anak laki-laki itu dengan raut wajah dingin tetapi sorotan mata yang tajam.
Aku menghela nafas dan melihat ke sekeliling. Di depan kami berdiri tegak benteng batu Bangkok yang dipisahkan oleh parit buatan. Kami, 47 orang laki-laki secara keseluruhan, berjongkok di atas tanah. Sudah kuhitung, ada 40 prajurit Farang bersenjatakan bedil dan tombak panjang menjaga gerbang. Pemimpinnya, seorang Farang Britania Raya, mengenakan baju seragam lengkap keprajuritannya. Aku sudah menakar, di sisi bagian tubuh mana parang panjangku dapat mencacahnya dan dimana kerisku dapat menembusnya.
Aku kembali menatap mata I Rampang, kemudian mengangguk pelan.
“Takunjunga bangunturu’, nakugunciri’ gulingku, kualleanna tallanga na toali’a. Sebagai nakhoda, aku tidak begitu saja ikut angin buritan dan kemudian memutar kemudi. Lebih baik bagiku mati tenggelam daripada balik haluan,” ujarku pelan tetapi bersungguh-sungguh.
Mendengar ini, si pemuda I Rampang menempelkan telapak tangannya di dada dan menunduk khidmat. Anak muda ini sudah siap untuk bertempur.
Hatiku mencelos mengingat I Patau, bercampur antara merasa bangga dan sedih di saat yang sama.
Namun, aku pun sudah melihat gerak-gerik si pemimpin pasukan yang berjalan sembari berbisik kepada setiap anak buahnya. Sejenak lagi, bedil-bedil itu akan ditembakkan ke arah kami. Mereka menginginkan kami menjadi ladang pembantaian. Mana mungkin aku biarkan seperti itu. Mati konyol tanpa perlawanan adalah sebuah kematian yang paling memalukan dan tanpa harga diri.
Aku melepaskan sarung yang menutupi pinggangku, kemudian melilitkannya di pergelangan tangan kiri, membuat semacam tameng sederhana dari kain. Keris sudah kucabut, dan parang panjang sudah kuletakkan di atas tanah.
I Rampang melakukan hal yang sama.
Begitu pula 45 orang Mangkasara lainnya yang ada di belakangku, meloloskan badik dan keris mereka.
Aku berdiri.