Apa yang kutakutkan terjadi juga. Capitaine Hues tewas. Orang tak sabaran itu sepertinya gegabah terlalu jelas menunjukkan sikap bermusuhannya kepada orang-orang Mangkasara itu. Pasukan campuran Siam-Paranggi kocak kacir dan dibantai habis-habisan di luar benteng.
Berdiri di depanku, bermandi darahnya dan darah rekan-rekannya, Capitaine Minchin yang berdarah campuran Britania Raya dan Siam itu melaporkan apa yang ia lihat. Namun, tidak memerlukan waktu lama baginya untuk bercerita secara utuh. Di belakangnya, orang-orang Mangkasara sudah memasuki benteng.
Wajah mereka bagai binatang yang kelaparan. Padahal tidak sedikit yang terlihat terluka. Ada yang tertembak di beberapa bagian tubuh, tetapi tidak mengendurkan lari mareka.
Aku tadinya sedang mempersiapkan pasukan untuk melawan orang-orang Mangkasara, akan tetapi si Hues yang tak sabaran itu ternyata mengacaukannya.
Seribu pasukan Siam yang bertombak dan bedil locok[i] sama sekali tak siap dengan deru gelombang para parajurit Mangkasara yang kesetanan itu.
Beberapa tombak yang direbut dari pasukan Prancis yang terdiri dari orang-orang Paranggi yang mereka bantai di luar benteng dilemparkan ke arah para pasukan yang dimanffatkan untuk memecah pasukan. Tidak ada yang sempat menembakkan bedil mereka saat itu karena puluhan pemuda Mangkasara menghambur bagai runtuhan tanah longsor yang menimpa pasukan Siamku.
Teriakan mereka memecah malam, sedangkan teriakan kesakitan dan kematian pasukanku meretakkan angkasa.
Mereka berlari dengan cepat sembari menunduk. Entah ilmu beladiri dan pertempuran apa yang mereka gunakan sehingga badik dan keris di tangan mereka hampir selalu mendapatkan sasaran setiap kali diayunkan dan ditusukkan.
Pasukan Siamku terjengkang. Tidak semua langsung tewas. Yang terluka begitu parah masih memerlukan waktu untuk mati beberapa lama kemudian, baik dalam hitungan jam[ii] maupun hari. Bagaimana tidak, satu prajurit saja bisa tertusuk belasan kali, bahkan setelah mereka tewas dan menjadi mayat. Maka yang terluka, hampir mustahil untuk selamat pula.
Mengapa aku bisa tidak mengacuhkan kisah dan cerita tentang orang-orang Mangkasara serta keris dan badiknya?
Senjata tikam mereka itu dikenal mematikan karena mengandung racun. Terkena sabetan sedikit saja di kulit, korban akan terluka parah dan tewas dalam waktu yang tidak lama. Racun bacem kodok adalah salah satu yang terkenal, yaitu dengan merendam badik ke campuran air dan tubuh kodok yang telah dikeluarkan isi perutnya sampai 3 hari lamanya. Badik yang telah dijemur meresapkan racun itu pada bilahnya yang berpamor. Ada juga badik yang menggunakan racun dari getah pohon upas, atau warangan[iii] seperti yang ada pada keris-keris orang-orang Jawa.
Jadi tak heran bila pasukanku kocar kacir. Ujung badik dan keris seperti menjadi malaikat pencabut nyawa yang memburu mereka.
Beberapa prajurit Mangkasara yang seperti sedang kerasukan itu berlari ke arahku sembari terus menusukkan senjata mereka. Yang kebetulan berada di hadapan mereka sulit lolos dari serangan yang membabibuta tersebut.
Bagaimana mungkin 1.000 pasukan menjadi terasa sedikit saja dibandingkan kurang dari 50 orang bersenjatakan badik dan keris saja?
Seorang laki-laki Mangkasara berumur, yang rambut di balik penutup kepalanya itu telah banyak yang memutih, yang berleleran darah tetapi sepasang mata setajam elang, melompat ke arahku.