Aku sudah menghitung semua anggotaku. Lima tewas di depan dan di dalam benteng, tertembak. Tak ada tombak atau pedang pun yang mampu membunuh kami.
I Rampang bersama lima laki-laki Mangkasara lainnya, tua muda, berlari ke sisi lain benteng.
Aku harus menyelesaikan apa yang sudah dimulai. Api yang dipantik harus menjadi bara yang menggelora.
Kami berlari ke kapal pinisi yang sudah aku nakhodai entah berapa tahun lamanya itu. Kami masuk ke dalamnya, meraih tombak dan tameng, membebat luka tanpa keluhan, serta membersihkan keris dan badik yang sudah licin oleh darah.
Para budak ternyata sudah berlarian keluar kapal tanpa adanya satupun awak kapal yang memang kesemuanya ada bersamaku ketika menyerang benteng.
“Bakar kapal ini! Tunjukkan seberapa niat kita kepada mereka untuk berperang,” perintahku.
Awak kapal dan orang-orang Mangkasara ini, para saudaraku, menatapku sejenak, seperti meminta penjelasan.
“Kalian tahu bahwa perang memang sudah terlebih dahulu berkobar di tempat ini, bukan? Kita adalah pemulanya. Sudah pasti panglima perang kita, Daeng Tammu, telah tewas di dalam sana berserta lima orang kita yang lain. Kita sudah sejauh ini membunuh orang-orang Siam dan para Farang keparat itu untuk menagih atas harga diri yang diinjak-injak. Namun, aku rasa kita masih belum berhasil membunuh lebih banyak orang-orang kafir dan pemuja berhala ini. Lagipula, apa kalian berpikir bahwa kita dapat pergi dari tempat ini hidup-hidup? Sedangkan Tuan Daeng Mangalle di Ayutthaya sana mungkin sedang siap berjuang dan mengorbankan nyawanya pula? Membakar kapal yang merupakan rumah kita di tengah samudra selama ini hanyalah sebuah pengorbanan kecil.”
Wajah mereka yang berpeluh dan berlapis darah oleh orang-orang yang mereka bunuh atau merupakan darah mereka sendiri menunjukkan raut wajah yang penuh kesungguhan setelah ucapanku tadi.
Aku, terluka tembak di berbagai tempat, bahkan darah masih mengucur di luka-luka itu, yakin tidak akan selamat. Aku akan tewas kehabisan darah tak lama lagi. Itu sebabnya, kerisku memerlukan beberapa nyawa lagi untuk dikirimkan ke neraka jahanam.
Lidah api akhirnya berkobar-kobar, menjilati setiap palang dan papan kayu kapal yang sudah kukenal dengan baik setiap sudutnya seperti bagian dari tubuhku sendiri itu.
Kami juga membakar beberapa kapal berbendera Siam yang ada di sekitar dermaga yang menahan kapal kami dengan rentangan rantai raksasanya itu.
Percikan kembang api menjadi latar belakang kami yang meninggalkan pelabuhan tersebut.
Kami meraih obor, membakar apa saja yang mungkin. Memapras siapa saja yang kami dapati. Nelayan, warga biasa, siapa saja.