Peluru menembusi tubuh laki-laki Mangkasara yang menerjang ke arah kami dengan gilanya itu. Aku rasa ia adalah pimpinan para laskar Mangkasara yang sudah membantai pasukanku. Mungkin pula ia adalah sang nakhoda kapal, dilihat dari caranya memerintah bawahannya yang kebanyakan adalah awak kapal itu, serta karena kekuatan tekadnya mati di ujung peluru untuk sedapat mungkin menyerang kami.
Tubuhnya terjatuh terjerembab dan mati di tepi sungai. Sekitar lima peluru bersarang di dadanya.
Sisa awaknya berlarian bubar. Kebanyakan masuk ke dalam rerimbunan pepohonan, menjauh dari sungai dan dermaga.
Masalahnya, aku tidak yakin apakah mereka lari karena takut atau memiliki tujuan lain. Aku sudah salah dalam menilai keberingasan dan kelihaian mereka dalam berperang. Aku sudah tidak mau menyepelekan dan menilai rendah orang-orang Mangkasara yang seperti kerasukan setan itu.
Lanceku terangkat ke udara, memerintahkan beberapa orang untuk kembali ke dalam benteng, meminta bantuan tambahan untuk menyisir wilayah dimana orang-orang Mangkasara itu bersembunyi.
Aku sendiri dengan cepat menyusul mereka kembali ke dalam benteng setelah meyakinkan pasukan pembedil berangkat untuk menghalau orang-orang Mangkasara kembali ke tepian sungai atau benteng.
Di dalam sana, tambahan pasukan sudah berkumpul. Sebagian adalah para pasukan Siam yang berlarian kebingungan tetapi selamat dalam serangan pertama 47 orang Mangkasara itu.
Sekali lagi aku memberikan perintah, menekankan betapa sungguh-sungguhnya keadaan ini, membakar semangat mereka untuk menjaga benteng, membela rakyat Siam dan kerajaan Ayutthaya yang terancam oleh serangan para begundal tersebut. Separuh lebih pasukan kuperintahkan untuk ikut dengan pasukan pembedil yang sudah terlebih dahulu menyisir wilayah pepohonan di sisi sungai dan dermaga, memburu puluhan sisa orang Mangkasara.
“Mereka sudah terluka dan tenggelam oleh amarah dan angkara murka sehingga saat ini mungkin sudah kelelahan. Kepung mereka, tembak dan siapkan tombak kalian untuk menghujam ke dada lawan.”
Aku sendiri memerintahkan 80 orang yang bersenjatakan tombak panjang dan bedil untuk mengikutiku. Enam orang Mangkasara berhasil masuk ke sisi lain benteng. Kami juga harus memburu mereka yang sudah gelap mata. Siapapun dapat menjadi korban kekejian laskar Mangkasara tersebut.
Aku pernah mendapatkan gambaran besar bagaimana prajurit Jawa bertempur. Tombak di tangan kanan, perisai kecil di tangan kiri. Beberapa keris diselipkan di pinggang bagian depan dan belakang. Di dalam perkelahian dan pertempuran, prajurit Jawa terkenal memiliki serangan yang terukur dan tertata. Mereka maju dan mundur serempak, sesuai dengan perintah panglima perang mereka.
Namun, orang-orang Mangkasara menyerang tanpa aturan, tanpa takut, bahkan seperti tanpa perhitungan. Aku ingat sekali bagaimana selembar kain atau sarung yang mereka lilitkan di lengan kiri mereka ternyata mampu menjadi tameng sederhana tetapi berdaya guna. Mereka menunduk, menepis tombak lawan menggunakan lengan yang dililit kain itu, lalu menusukkan keris dan badik mereka cepat-cepat dan seganas mungkin.
Tidak ada kata mundur ketika mereka sudah menyerang dan mendapatkan jarak serang yang sedekat itu. Maka dari itu, pasukanku banyak yang kacau berhamburan karena tak sanggup menghadapi serangan masing-masing orang Mangkasara yang tujuan utamanya hanyalah membunuh sebanyak-banyaknya lawan, bukan untuk menggunakan siasat membuat musuh mundur atau menyerah.
Mereka sungguh ingin membunuh belaka.