Aku tahu sekarang bahwa orang-orang Mangkasara memang liar dan sulit dikendalikan. Mereka menyerang membabibuta tanpa keseragaman, tanpa aturan dan batasan. Itu yang membuat mereka bahaya sekaligus hebat.
Tahun 1677 Masehi, beberapa tahun yang lalu, orang-orang Mangkasara menguasai semua pelabuhan di pulau Jawa bersama para pemberontak lainnya. Awalnya mereka digunakan dan dimanfaatkan oleh putra mahkota kerajaan Mataram dan Trunojoyo, pangeran Madura yang berusaha menggulingkan kekuasaan raja Mataram saat itu, Amangkurat I. Masalah kemudian muncul ketika orang-orang Mangkasara tidak bisa dikendalikan lagi, bergerak sendiri-sendiri sekehendak hati. Awalnya mungkin mereka didorong oleh kebencian kepada kaum Farang Holanda kafir dan para pendukungnya. Namun, lama-kelamaan, orang-orang Mangkasara itu cenderung menuruti nafsu mereka sendiri, yang haus darah, haus kekuasaan, dan peka sekali dengan segala hal yang berhubungan dengan harga diri serta rasa malu yang mereka sebut dengan siri’ itu.
Mereka menyebut diri mereka sendiri sebagai tubarani, orang-orang pemberani.
Lihatlah mereka kini. Bersembunyi di balik pepohonan, di dalam hutan, di tepian sungai, dikelilingi oleh tanah berawa, digenangi air yang pasang.
Sudah dua pekan, aku, pasukan Siam dengan ngao dan daab mereka, serta pasukan gabungan Prancis dan Paranggi, mengepung hutan. Menunggu tanda-tanda mereka akan menyerah, keluar, atau menyerang sekalian.
Warga sekitar sudah aku perintahkan untuk mengungsi, dibantu dengan para prajurit Siam sembari menunggu perkembangan.
Tindakan ini bukan tanpa alasan. Satu dua orang Mangkasara beberapa kali keluar dari hutan diam-diam untuk mencari makan. Mereka menyasar kabun penduduk, mencuri dan merampas bahan makanan dari sana seperti sayuran dan buah-buahan. Melihat dari tindakan mereka sebelumnya, aku tidak akan heran bila mereka akan sekalian membunuh siapa saja yang dapat terlihat oleh mata dan tergapai oleh badik mereka.
Sikap siri’ mereka yang sulit kupercaya itu, nyatanya membuat orang-orang Mangkasara menjadi orang yang lihai di tanah dan negeri orang lain, yang saat ini kulihat dari sisi yang buruk. Padahal, bila mau dicermati, banyak dari mereka adalah para pengusaha, peniaga, pedagang dan pelaut yang hebat. Mereka tidak takut untuk pergi dari negeri mereka untuk mendapatkan kejayaan, walau nyawa menjadi bayarannya[i].
Dalam dua pekan ini pula aku diberitahu oleh beberapa penasehat yang memahami bahasa Melayu bahwa orang-orang Mangkasara juga memiliki falsafah pacce, yang merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dengan siri’, menjadi siri’ na pacce.
Bila siri’ adalah perasaan malu, maka pacce adalah perasaan sedih, prihatin, serta peduli. Ada ujaran dari bangsa mereka yang berbunyi, “Punna tena siriknu, paccemu seng pakania”. Bila tidak ada siri’-mu pacce-lah yang kau pegang. Itu sebabnya pula, selain menjaga harga diri, tidak mau menanggung malu, orang-orang Mangkasara ini juga memiliki keterikatan dengan saudara-saudaranya sesama orang Mangkasara. Pacce digunakan untuk merasakan musibah yang dialami oleh sesama orang Mangkasara, apalagi kerabat. Pacce juga mendorong orang Mangkasara melakukan tindakan balasan terhadap mereka yang melakukan penganiayaan tersebut dengan keras[ii].
Aku menggelengkan kepala, tidak percaya bahwa aku memikirkan apa yang menjadi pertimbangan Yang Mulia Raja Phra Narai. Mengapa Raja Ayutthaya begitu luas memberikan kesempatan pada orang-orang Mangkasara yang ada di wilayah Siam ini untuk meminta ampunan? Itu karena Paduka Raja merasa bisa menggunakan kemampuan mereka yang luar biasa dalam berdagang dan berperang. Mungkin Paduka merasa sayang harus ‘membuang’ kemampuan mereka yang bisa digunakan untuk melanggengkan kekuasaannya yang diraih dengan cara berdarah pula.