Aku sudah sebegitu percaya diri bahwa serangan mendadak ini akan berhasil dengan baik. Pada tanggal 25 bulan Ramadhan tahun 1097 Hijriyah[i], rencana itu dilaksanakan. Aku sudah mengirim surat kepada kakakku, Po Dharmma, yang sedang bertugas di istana kerajaan. Ia seharusnya sudah pergi menjauh dari istana.
Aku dan kakakku yang satu lagi, Po Klaung, sadar bahwa Po Dharmma enggan untuk ambil bagian dalam semangat kami ini. Ia terlalu gampang merasa nyaman. Tak ia ingat lagi bagaimana kesulitan di kerajaan Champa di Panduranga[ii] membuat kami sampai terusir ke tempat ini, menumpang di negara asing yang berbahasa berbeda dan beragama berbeda pula. Bisa-bisanya Po Dharmma melupakan serangan dari kerajaan Buddha pedalaman pada tahun 1451 Masehi. Sedangkan sekarang kami harus mengabdi pada negeri umat Buddha pula?
Kali ini, tidak peduli ia setuju ataupun tidak, mau tidak mau kakak laki-lakiku itu harus pergi dari istana mencari aman atau terpaksa terlibat di dalam perang dan kerusuhan. Bila sudah terjebak di dalam keadaan semacam itu, siapapun tidak akan bisa selamat, apalagi Po Dharmma adalah sosok yang cenderung mencari aman.
Malam itu, sesuai dengan rencana kami, ada 300 pasukan Melayu yang ikut serta di dalam pemberontakan. Awalnya, selama 3 bulan aku, Po Klaung, Sheikh Ismail al-Farani, dan tentu saja Daeng Mangalle, memberikan penjelasan dan semangat kepada warga muslim Champa, Melayu dan Mangkasara untuk ikut ambil bagian di dalam gerakan ini.
Rakyat Mangkasara jelas ikut serta. Mereka memiliki ketaatan yang tinggi terhadap pimpinan mereka. Selain itu, falsafah hidup mereka yang dilandaskan pada siri’ na pacce menjadi dukungan terhadap persetujuan pada pemberontakan ini. Masalahnya, meski kebanyakan orang-orang Melayu juga merasa bahwa mereka perlu melakukan sesuatu untuk mengubah keadaan ini, membuat sebuah negara yang thagut dan terlalu dekat dengan orang-orang Farang kafir untuk menjadi negara Islam, masih ada 300 orang Melayu yang masih tidak setuju dengan gerakan ini. Mereka merasa bahwa melakukan kekacauan sama dengan bunuh diri. Mereka berkaca dari tokoh-tokoh Melayu yang telah ditangkap dan dibunuh lima tahun yang lalu karena didapatkan sedang merencanakan tindakan makar. Mereka tidak mau kembali mengulangnya. Lagipula, 300 orang Melayu ini sudah nyaman tinggal di Ayutthaya dan merasa salah bila mereka menggigit tangan orang yang memberi mereka makan dan kehidupan.
Maka, seperti rencana, 300 orang itu sengaja aku kumpulkan, membawa senjata lengkap, tetapi tidak tahu apa yang bakal terjadi. Mereka akan sama nasibnya dengan Po Dharmma, yang mau tidak mau, sudah terlanjur basah dan kepalang tanggung untuk ikut dalam pemberontakan.
Di seberang kampung Mangkasara, di sebuah lahan lapang, kami semua berkumpul. Masyarakat Champa yang berada di bawah pimpinanku dan saudara laki-lakiku, Po Klaung; orang-orang Mangkasara bersama Daeng Mangalle; dan orang-orang Melayu; termasuk 300 orang Melayu yang sampai sekarang belum tahu ada apa gerangan mereka diminta hadir dengan membawa persenjataan lengkap pula.
Obor dan lampu damar serta lentera minyak tanah menerangi keberadaan kami. Bayangan begkok dan panjang bergoyang-goyang di pepohonan, menjulang pula karena kebanyakan dari kami membawa serta tombak yang panjangnya hampir dua kali lipat tinggi kami.
Tentu 300 orang Melayu itu bingung. Mereka memang telah membawa serta senjata mereka dengan lengkap: selain tombak mereka membawa keris dan pedang.