AMUK!

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #20

Di Mana Bumi Dipijak, di Situ Langit Dijunjung

Tuan Mahmud menunjukkan dirinya. Aku tahu bahwa dari tadi ia berada di dalam barisan orang-orang Melayu yang sudah setuju untuk ikut ambil bagian di dalam pemberontakan tersebut. Akan tetapi, memang sedari awal, Tuan Mahmud bersikeras bahwa 300 orang Melayu yang bersikukuh untuk tidak ambil bagian di dalam gerakan ini harus diikutsertakan, bagaimanapun caranya.

Tuan Daeng Mangallelah yang kemudian memberikan gagasan untuk ‘menjebak’ 300 orang Melayu tersebut. Bila pertempuran sudah terjadi, mau tidak mau mereka akan terlibat dan ikut berbasah-basah di dalam perang. Ini disarankan oleh Daeng Mangalle karena memang orang-orang Mangkasara terkenal tidak kenal takut – dimana itu menguntungkan gerakan ini – dan tidak peduli pada keadaan. Mereka tidak mudah menyerah dan bila sudah terlanjur, tidak akan segan-segan maju karena malu bila harus menjilat ludah sendiri serta mundur bagai pengecut.

Namun, nampaknya itu belum tentu menjadi sifat orang Melayu.

Tuan Mahmud sepertinya tahu itu.

“Sebagai orang Melayu, kita harus seiya sekata. Saudara-saudaraku, mari kembali kita dengarkan suara hati kita sebagai umat Islam. Yang Mulia Paduka Raja Phra Narai telah membiarkan orang-orang Farang kafir menguasai negeri ini, sama seperti mereka menguasai negeri Melayu. Mereka merendahkan agama kita, menghina adat kita, serta merebut hak-hak kita. Allah berfirman. ‘Dan pergilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agam itu semata-mata untuk Allah’[i]. Ini berarti, wajib hukumnya bagi kita untuk tidak membiarkan agama kita diinjak-injak oleh kezaliman negeri ini,” ujar Tuan Mahmud. Ia menegakkan punggungnya. “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung, memang benar adanya. Namun, bila bumi yang kita pijak telah dikuasai oleh kezaliman, bukankah wajib bagi kita untuk menjunjung langit dengan keadilan? Bersama saudara-saudara umat Islam Champa dan Mangkasara, kita harus bangkit bersatu, seiya sekata, untuk melawan ketidakadilan ini.”

Laki-laki Melayu yang pertama berbicara kepadaku mengedarkan pandangan kepada semua orang, untuk kemudian tertambat pada Tuan Mahmud.

“Tuan Mahmud, sahaya menghormati semangat Tuan. Namun, ada dikata ‘Berat mata memandang, berat lagi bahu memikul.’ Mari, kita semua, tidak hanya orang-orang Melayu, untuk berpikir dengan kepala dingin. Ayutthaya adalah negeri orang Siam dengan Yang Mulia Paduka Phra Narai sebagai pemimpinnya. Apa jaminannya bahwa kita akan berhasil dan menang malam ini? Pertempuran selalu berjalan panjang dan penuh pengorbanan. Jika kita gagal dan kalah, apa yang akan terjadi pada keluarga kita, anak-anak kita? Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.[ii]”

“Tok Penghulu[iii], sahaya juga paham dengan kekhawatiran engkau. Namun, perlu diingat bahwa kita tidak bergerak sendiri. Semua orang Islam di Ayutthaya mendukung. Ada orang-orang Champa bersama Tuan Po Inra dan Tuan Po Klaung, dan muslim Gowa Mangkasara bersama kepempinan sang pemberani Tuan Daeng Mangalle. Bersama-sama, kita memiliki kekuatan besar untuk melawan.”

Orang Melayu yang ternyata bernama Tok Penghulu itu menggeleng-gelengkan kepalanya keras-keras. “Hendak seribu daya, tak hendak seribu dalih. Sahaya mengatakan ini bukan karena takut dan gentar. Orang Melayu tak pernah takut karena ‘takkan hilang Melayu di Bumi’. Tetapi ‘bumi bertuah negeri beradat’ [iv]pula. Kita harus mampu menjaga budaya dan adat kemelayuan kita kepada anak cucu kita. Nah, bagaimana melakukannya bila kita tidak mampu menjaga nyawa saudara-saudara kita kelak? Tuan Mahmud, tolong berpikirlah. Ayutthaya didukung oleh orang-orang Farang dan pasukan besar dari beragam negeri pula. Belum lagi orang-orang Syi’ah Parsi yang tidak beriman persis seperti yang kita imani. Sahaya tak takut mati di dalam pertempuran, tetapi bagaimana masa depan anak cucu kita? Jika kita kalah, mereka yang akan menanggung akibatnya. Lebih baik kita mencari damai, menjaga hubungan baik dengan Yang Mulia Raja Phra Narai dan melindungi orang-orang Melayu dan Islam dengan cara yang bijaksana. Hentikanlah rencana makar ini, Tuan Mahmud. Kami memohon kepada Tuan.”

Pembahasan ini terus berlanjut dalam beberapa saat. Beragam petuah dan ayat-ayat suci Al-Qur’an bertaburan dikutip. Kedua pihak berbicara bagai berbalas pantun. Namun, sepertinya aku tahu kemana arah dan akhir dari pergumulan ini.

Lihat selengkapnya