AMUK!

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #22

Keras Kepala

Monsieur Constance, si Phaulkon, menceritakan semua kepadaku secara terperinci. Ia juga telah menyampaikan penawaranku bagi kaum pemberontak itu untuk meminta ampun kepadaku. Aku masih ingin menunjukkan kebesaran seorang Phra Narai di hadapan masyarakat pendatang yang memenuhi negeri Siam ini. Aku masih ingin membuat mereka merasa terlindungi di bawah kepemimpinanku, sekaligus masih dapat membuat mereka setia hingga dapat membantu keamanan serta langgengnya kekuasaanku.

Phaulkon mungkin merasa bahwa keputusanku untuk terus-menerus memaafkan dan mengampuni para pemberontak muslim itu tidak dapat dipahami. Ia memang sudah berusaha untuk tidak menunjukkan perasaan dan pendapatnya di depanku, tetapi aku tahu dan paham bahwa ia cukup keberatan dengan kebijakanku yang mungkin tidak dianggap bijaksana sama sekali.

Sesungguhnya, Phaulkon harus sadar bahwa orang-orang muslim itu, terutama orang-orang Mangkasara dan Melayu, adalah orang-orang penting bagi kekuasaanku. Memang mereka berbahaya, tetapi tetap saja penting. Hubungan antara Mangkasara dan Melayu pun sudah terjalin lama. Menurut berita dan kabar yang aku kumpulkan mengenai sejarah dan asal-usul mereka, kerajaan Mangkasara yang dipimpin oleh Raja Tunipalangga[i] sudah menandatangai perjanjian bahwa orang-orang Mangkasara tidak akan memasuki pemukiman orang Melayu. Ini berarti mengizinkan orang-orang Melayu untuk bebas memiliki aturannya sendiri di wilayahnya. Pada tahun 1620 Masehi, kota Mangkasara menjadi pangkalan utama bagi orang-orang Melayu yang berusaha menghindari Kompeni Holanda yang ingin menguasai penuh perdagangan cengkih dan pala. Di masa itu sudah terdapat ribuan pedagang Melayu di kota Mangkasara dan ada 600 saudagar Melayu dikabarkan termasuk di dalam barisan kapal-kapal yang berlayar ke Maluku untuk mengumpulkan rempah-rempah, tepatnya pada tahun 1624 Masehi.

Tidak hanya itu, hubungan Mangkasara dan Melayu memang sungguh sedekat itu. Seperti yang terjadi di Ayutthaya, Mangkasara juga menjadi tempat pelarian bagi keluarga kerajaan Melayu Patani yang membangkang. Mangkasara juga menjadi pusat kesusastraan Melayu, meskipun kedua kelompok ini menggunakan bahasa yang berbeda baik di dalam percakapan sehari-hari ataupun kesusastraan itu sendiri.

Khusus untuk orang-orang Mangkasara, siapa yang bisa membantah kehebatan orang-orang itu dalam pelayaran dan penggunaaan alat-alat di dalam pelayaran maupun peperangan. Mereka adalah pelaut dengan pengguna peta dan merupakan salah satu pasukan laut terbaik di Nusantara dan mancanegara.

Ayutthaya jelas membutuhkan Mangkasara yang menambah orang-orang yang mampu berlayar dengan baik. Orang-orang Siam tidak memiliki kemampuan berlayar sebaik mereka tentunya.

Phaulkon tinggal di kota Ayutthaya hanya selama dua hari setelah ia menyampaikan kepada para pemberontak untuk melepaskan saja keinginan mereka untuk melanjutkan gerakan makar tersebut. Aku memberikan kesempatan besar bagi mereka untuk kembali bekerja seperti biasa, hidup dalam damai dan tentram di tanah Siam ini.

Lihat selengkapnya