AMUK!

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #24

Lidah Perak

Aku tidak bisa mengatakan bahwa aku sudah cukup mengenal seorang Daeng Mangalle. Wataknya yang keras, yang sama dengan seluruh orang Mangkasara, tidak kuduga akan berakibat semengerikan ini.

Namaku Ok-phra Chula, seorang Siam yang berhubungan dengan banyak orang asing. Tidak hanya dengan orang-orang Islam, bahkan dalam pekerjaanku ini aku ditemani Monsieur Chaumont, seorang Farang Prancis.

Ketika seorang Mangkasara datang kepadaku mengatakan bahwa Daeng Mangalle ingin bertemu, sungguh, jujur, aku merasakan ketakutan yang tidak biasa. Dua pekan lebih, kota Ayutthaya diramaikan dengan hukuman yang diberikan kepada orang-orang muslim Melayu dan Champa. Yang Mulia sendiri telah menunjukkan belas kasihan dan kebijaksanaannya dengan memberikan mereka pengampunan.

Masalahnya, hanya orang-orang Mangkasara yang tidak terlihat satupun batang hidungnya. Mendadak kini, seorang Mangkasara hadir ke hadapanku dan meminta aku untuk untuk menemuinya di kampung Mangkasara? Apa orang ini sudah gila?

“Ampun, Tuan, Ok-phra Chula. Tuan kami, Daeng Mangalle, menyampaikan bahwa tidak mungkin baginya untuk langsung bertemu tuan di kota. Ini dikarenakan keadaan kota yang masih panas dan cukup semrawut karena kejadian yang baru saja berlangsung,” ujarnya.

Aku ingin mendelik dan berteriak keras-keras di telinganya, “Tentu saja! bukankah kalian yang menjadikan ini sebuah perkara? Setelah orang-orang Champa dan Melayu dihukum mati serta 50-an orang-orang Mangkasara, mungkin beberapa kerabat kalian sendiri, di bantai di Bangkok, baru engkau muncul di depan mukaku?”

Tapi, tentu bukan itu yang kukatakan. “Baiklah. Aku sendiri yang akan datang ke perkampungan Mangkasara malam ini.”

“Terimakasih, Tuan. Daeng Mangalle berkata bahwa beliau akan menjamin keselamatan dan kenyamanan Tuan selama berada di tempat kami.”

Apa aku harusnya lega dengan kata-kata orang ini?

Entah apa yang kupikirkan, tetap saja aku datang menghadap malam itu juga.

Kampung Mangkasara sedikit lebih redup di banding keadaan biasanya. Seperti yang kutahu, orang-orang Mangkasara yang pandai berdagang itu menjadikan pemukiman mereka sebagai tempat berniaga pula. Orang-orang muslim, kadang-kadang Cina dan Parsi juga mengunjungi mereka untuk beragam kepentingan usaha dan perdagangan.

Malam ini, meski aku diterima dengan baik, suasana lumayan mencekam.

Lihat selengkapnya