AMUK!

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #25

Gerbang Kota

Tanggal 20 September 1686 [i]menurut penanggalan Gregorian. Pagi-pagi benar, pusat kota Ayutthaya digegerkan dengan kedatangan rombongan Mangkasara pimpinan Daeng Mangalle. Mereka menyebrangi sungai Chao Phraya dan berhenti tepat di depan gerbang kota.

Beberapa pekan yang lalu, ratusan orang muslim Melayu dan Champa sudah terlebih dahulu datang dan meminta untuk menghadap Yang Mulia Raja Phra Narai, meskipun Yang Mulia sedang berada di istana benteng Lopburi. Saat itu, rombongan Melayu dan Champa yang datang tidak menimbulkan kegemparan, padahal jumlahnya begitu banyak. Mereka pun kala itu membawa serta berbagai persenjataan mereka yang dengan mudah dilucuti di depan gerbang.

Pasukan Siam dan beberapa pasukan penembak dengan bedilnya dari Prancis dan Paranggi sudah bersiaga di sekitar gerbang, termasuk di dalam benteng kota.

Ketegangan terasa mengambang di udara pagi itu. Rakyat Siam tidak lagi menahan-nahan rasa takut dan khawatir mereka, terutama karena setelah beberapa pekan mereka mendengar keganasan orang-orang Mangkasara di Bangkok yang telah menewaskan ratusan tentara dan warga biasa beragam usia dan jenis kelamin, tidak terkecuali para biksu.

Aku mungkin berbagi kecemasan dan rasa penasaran yang sama dengan orang-orang mengenai kebijaksanaan Yang Mulia untuk mengampuni mereka. Orang-orang Melayu dan Champa telah mendapatkan hukuman mereka, dan mereka memiliki alasan yang cukup masuk akal untuk diampuni. Melayu sudah lama berada di Siam. Sumbangsih besar pun telah lumayan banyak mereka berikan, belum lagi jumlah mereka yang banyak. Champa hanyalah orang-orang lemah dari negeri dan kerajaan yang bergejolak. Sedangkan Mangkasara? Mereka hanya 300-an orang paling banyak, tetapi 50-an orang saja sudah berhasil mengacaukan kemanan negeri.

Sebagai rekan kerja Monsieur Constance, aku, Samuel White, orang asing dari Britania Raya, membantu Monsieur Constance dalam perihal perdagangan. Aku memiliki jabatan sebagai seorang pedagang dan wakil utusan dari Kerajaan Britania Raya untuk negeri Siam, Ayutthaya.

Bersama pasukan pembedil Prancis dan Paranggi, aku ikut berjaga-jaga di depan gerbang dinding kota, menjadi saksi sejarah salah satu kerumitan keadaan tata negara di kerajaan ini.

Ok-phra Chula datang tergopoh-gopoh setelah mendengar bahwa orang-orang Mangkasara, yang jumlahnya seratusan lebih bersenjatakan tombak dan belati di pinggang mereka itu telah sampai di muka gerbang Ayutthaya. Ia adalah salah satu pejabat istana yang diberikan kewenangan berhubungan dengan orang-orang asing, termasuk orang muslim Sunni dan orang-orang Syi’ah seperti Parsi. Nampaknya Daeng Mangalle sengaja menunjuk Ok-phra Chula sebagai perantaranya.

Ok-phra Chula tersenyum lebar, berdiri di depan Daeng Mangalle. Di belakangnya, pasukan Siam, berjumlah tiga kali lipat dari jumlah orang-orang Mangkasara bersiap dengan senjata mereka. Aku sendiri berdiri tak berapa jauh sehingga dapat mendengar dengan baik percakapan mereka yang diterjemahkan secara langsung oleh bawahanku, seorang tentara Paranggi yang sudah lama menetap di Siam sehingga mampu berbahasa Siam dan Melayu dengan cukup baik.

Lihat selengkapnya