AMUK!

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #26

Roda Sejarah

Mereka mengatakan bahwa orang-orang Mangkasara adalah para begundal yang kejam. Perompak dan bajak laut di lautan serta perampok dan penyamun di daratan. Mereka bahkan tidak lagi membedakan antara orang Mangkasara dari Gowa dengan orang-orang Bugis dari Bone. Yang utama adalah pencatatan kejahatan serta rekaman kekerasan yang kami buat.

Bukan hendak membenarkan apa yang telah kami lakukan, tetapi seakan hanya kekuasaan yang berhak menilai kami seperti itu. Hanya kelompok penguasa saja yang berhak memutuskan bahwa orang-orang seperti kami adalah kejam, sedangkan para penguasa yang memancung kepala lawan-lawan dan saingannya yang sama-sama berebut takhta boleh dibenarkan.

Kesombongan Raja Mataram Jawa, Sunan Amangkurat Pertama, yang meminta Sultan Hassanudin datang sendiri ke istana sebagai tanda takluk, padahal telah dikirimkan utusan orang-orang Mangkasara Gowa pada tahun 1657 dan 1658 Masehi saja sudah menunjukkan betapa angkuhnya raja itu. Bagaimana dengan kekejamannya membantai 5.000-an tokoh agama Islam dan ulama yang dianggap merongrong serta mengancam kekuasaannya? Bukankah kemudian tindakannya ini menyebabkan pemberontakan yang dilakukan oleh seorang Pangeran dari Madura bernama Trunojoyo? Orang-orang Mangkasara yang membantu perjuangan melawan raja lalim inipun kemudian dicap sebagai para penjahat, pemberontak, bahkan perampok. Bukankah ketika Kompeni Holanda mengalahkan Sultan Banten beberapa tahun yang lalu, tepatnya tahun 1094 Hijriyah[i], lahirlah perlawanan terhadap Kompeni yang dipimpin oleh seorang pendekar dari Bali bernama Untung Surapati? Bukankah orang itu juga dicap sebagai penjahat dan perampok, tidak terkecuali laskar Bali dan Madura yang ikut di dalam perjuangannya, terutama ketika menyerang pasukan Holanda dan membunuh Kapten Tack di istana Kartasura beberapa bulan lalu, Rabi’ul Awwal 1097 Hijriyah[ii]?

Lalu, apakah kami sungguh kejam? Mungkin. Namun, yang jelas, aku tak sudi menyerah apalagi meminta ampunan kepada siapapun. Tak kepada manusia, tak kepada setan. Tak kepada pemimpin Siam, pemimpin Jawa, apalagi para Farang kafir itu.

Aku ingat, salah satu orang Melayu dari 300 orang yang menolak ikut di dalam gerakan pemberontakan malam itu bertanya apakah kami tidak malu telah melakukan gerakan pemberontakan melawan raja yang telah memberi kami tempat dan hidup? Aku lebih malu bila harus menyerah dan meminta ampun seperti para pengecut lain yang banyak omong itu. Aku akan merasa malu bila menjadi seorang pangeran Mangkasara yang bersujud di bawah kaki Phra Narai, tanpa keris di pinggang pula bagai seorang hamba sahaya.

Pengkhiatan akan menjadi berkali lipat dimana aku kemudian terpaksa menjelaskan tentang siapa saja yang terlibat dalam usaha pemberontakan tersebut, apa yang sesungguhnya kami rencanakan dan apa yang akan kami lakukan setelah rencana itu berhasil. Aku akan malu semalu-malunya, seperti melepaskan pakaianku dan telanjang bulat serta ditontoni anggota keluarga kerajaan Siam ini.

Raut wajah I Patau mengeras. Sudah lebih dari sepekan ia mendengar kabar bahwa putranya telah tewas. Bahkan kepalanya ditancapkan di batang kayu di dekat pusat kota Bangkok, di samping sebuah jalan menuju ke pasar. 

Kekejaman dibalas kekejaman. Memang begitu yang seharusnya terjadi. Kami pun sungguh tak akan mengendurkan perjuangan dan perlawanan. Bila memang harus mati, tewas, aku mau gugur sebagai pejuang harga diri, ksatria yang mempertahankan apa yang ia percaya, aku sama sekali tak keberatan.

I Patau, tak terasa sudah umurnya sudah melebihi umurku ketika pertama kami sampai di tanah Siam. Putranya telah gugur sebagai seorang pemberani. Tak ada satupun orang Mangkasara yang menyerah di Bangkok. Mereka melawan ribuan pasukan Siam dan Farang dengan gagah berani, membunuh sebanyak mungkin pasukan yang memaksa mereka melucuti keris dan badik mereka, termasuk kaum Farang kafir atau warga Siam penyembah berhala tersebut.

Lihat selengkapnya