Harga diri, harga diri, harga diri … itu saja yang diucapkan oleh Daeng Mangalle dan semua orang Mangkasara itu, seakan-akan Yang Mulai Paduka Raja Phra Narai tidak memilikinya. Apa mereka berpikir bahwa Yang Mulia, yang memiliki kekuasaan besar seperti ini mau saja diperlakukan seperti sampah belaka, tanpa ada rasa hormat dan takut sedikitpun?
Yang Mulia Paduka Raja Phra Narai menarik nafas panjang, kemudian menghempaskannya pelan. Aku tahu ia sudah sampai pada titik didihnya, puncak kesabarannya sudah habis. Mengetahui bahwa orang-orang Mangkasara di bawah kepemimpinan Daeng Mangalle menolak syarat sederhana dan perlakuan istimewa oleh kerajaan dengan cara yang sama sekali tidak elok, Paduka Raja Phra Narai memutuskan untuk memberikan perintah menangkap mereka langsung di perkampungan Mangkasara, hidup dan mati, memberikan hukuman yang tegas bagi mereka yang masih nekat melawan.
Setelah laporan dari Ok-phra Chula hari itu, Yang Mulia Paduka Raja mengerahkan 5.400 pasukan bersenjata untuk melaksanakan titahnya sekaligus menakuti orang-orang Mangkasara agar menyerah dengan sukarela tanpa harus terjadi pertumpahan darah. Dengan begitu, Yang Mulia Phra Narai dapat langsung memutusan hukuman apa yang harus ia berikan kepada mereka.
Pagi itu, tanggal 24 September 1686 Masehi dalam penanggalan Gregorian, aku memeriksa semua persiapan tentara Siam di beberapa tongkang[i] dan galai-galai perang[ii]yang tertambat di pulau Ko Rian di Sungai Chao Phraya yang menghadap ke pemukiman orang-orang Mangkasara.
Aku memerintahkan para pasukan untuk membuat markas jaga di beberapa tempat di sekitar wilayah tersebut. Bersamaku ada beberapa panglima pasukan asing dan beragam pejabat. Ada Kapten Henry Udall yang memimpin sebuah kapal[iii] mewakili Raja Britania Raya untuk negeri Siam dan beberapa tentara Britania Raya lainnya yang melayani serta bekerja untuk Yang Mula Raja Ayutthaya Phra Narai, seorang paderi[iv] Nasrani dan satu orang asing lagi yang memiliki jabatan khusus di dalam rombongan Udall[v].
Aku memerintahkan orang-orang Britania Raya itu untuk ikut menjaga di markas-markas yang telah dibuat oleh pasukan Siam. DIitemani Udall, aku menaiki salah satu dari dua kapal perang kerajaan Ayutthaya dan berkeliling memeriksa kesiapan semua markas dan pasukan.
Malam menjelang. Lentera dan obor menyala begitu ramai. Pantulannya bergoyang-goyang di atas permukaan air sungai. Teriakan demi teriakan perintah para punggawa, hulubalang dan panglima perang angkatan laut dan darat sahut-menyahut tanpa henti. Beberapa puluh pasukan berkuda kesana-kemari memberikan beragam kabar persiapan di daratan demi tujuan kecepatan kinerja. Pasukan berkuda ini tentu tidak bisa dilibatkan di dalam penyerangan di kampung Mangkasara. Pemukiman itu terletak di seberang sungai, diapit sungai-sungai lainnya, dan berawa pula. Ada genangan air pasang yang kerap menutupi wilayah daratan memasuki kampung. Menggunakan kuda sama saja menyulitkan bahkan dapat menggagalkan serangan.
Subuh[vi], semua persiapan dirasa sempurna. Pasukan Khusus Penjaga Kerajaan yang dipimpin oleh Panglima Ok-luang Mahamontri sudah berjaga di salah satu markas utama di pulau ini. Ia membawa 1500 pasukan Siam yang langsung dibawa dari istana Lopburi.
Beberapa saat lagi[vii], serangan habis-habisan akan dimulai untuk membekuk, menaklukkan dan mungkin sekali, menghabisi seluruh anggota pemberontak. Pasukan berkuda memberikan kabar serangan ini ke seluruh penjuru markas.
Maka, ini perintah dari rencana dan siasatku. Sang Panglima; Ok-luang Mahamontri; yang sudah berpakaian perang lengkap dengan pelindung kepala bundar dari logam; baju dengan lempengan besi; pelindung logam di bahu, pergelangan tangan, dan tulang kering; serta pedang menggantung di pinggang; akan mengalangi dan menghambat orang-orang Mangkasara di bagian belakang perkampungan mereka; mulai dari tepian sungai utama, yaitu sungai Chao Phraya, sampai ke sebuah wilayah yang selalu tergenang oleh air sedalam sekitar 5 hasta[viii], tepat di ujung pemukiman mereka.