AMUK!

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #29

Berlari di Dalam Gelap

Badik baru dengan pamor bunga ce’la-ku itu telah dihiasi oleh darah. Sayangnya, darah pertama yang menutupi bilahnya itu bukan darah musuh, melainkan darah istriku sendiri. Ia tewas tanpa jeritan sama sekali, hanya sepasang matanya yang menatapku dengan pandangan yang tak bisa kugambarkan: melotot, serta tubuhnya yang menegang begitu keras sebelum nyawanya sungguh meninggalkan raga. Berbeda dengan para perempuan lain yang harus berteriak-teriak keras, menjerit-jerit, beberapa bahkan seperti kesetanan ketika suami-suami mereka memaksa merobek perut mereka dengan keris dan badik.

Kami terpaksa melakukannya. Ini demi mereka sendiri, juga atas nama pengabdian mereka kepada para suami. Itu dibuktikan oleh keberanian istriku yang dibuktikannya sampai akhir.

Di seberang sana, ribuan pasukan Siam yang dibantu oleh orang-orang Farang kafir telah mulai merapatkan kapal-kapal dan galai-galai perang mereka. Dalam hitungan nafas belaka, bola-bola api akan beterbangan di atas atap rumah kami, membakar apapun yang ada di hadapannya.

Kami siap mati, sudah tertulis di telapak tangan kami yang kapalan oleh gagang badik dan keris. Akan tetapi, bagaimana kalau ada dari kami yang tidak mati? Terluka parah, misalnya. Atau sialnya, menyerah begitu saja karena takut.

“Apa engkau pikir mereka akan mengampuni kita? Ribuan prajurit sudah dikerahkan untuk menghabisi kita. Bila pun kita semua saat ini memutuskan untuk membuang harga diri dengan meminta ampun, menyerah tanpa syarat, melepaskan badik dan keris kita, Phra Narai akan tetap memberikan contoh kepada yang lain, dan sudah pasti itu akan jauh lebih menyakitkan. Engkau ingat apa yang terjadi pada orang-orang Champa dan Melayu yang mengaku kalah sebelum berperang itu, mereka yang berkhianat pada gerakan kita? Raja memerintahkan menyiksa mereka, memenggal kepala dan mempertontonkannya kepada khalayak ramai. Jika pasukan Siam menangkapmu dan para perempuan lain, aku jamin engkau tidak akan mampu menahan rasa sakit dari siksaan keji mereka,” ujarku pada istriku sesaat lalu.

Ia menatapku nanar, tetapi kemudian tersenyum pedih. “Lakukan apa yang harus engkau lakukan, Tuan. Putraku, I Rampang, toh telah tewas. Anakku satu-satunya, anak kita. Bila engkau menganggapnya sebagai seorang pemberani dan membanggakan, jadilah itu. Untuk apa lagi aku harus hidup? Tiada gunanya.”

Aku tidak menghabiskan banyak waktu dengannya. Mungkin itu yang paling aku sesali. Badikku menghujam perutnya saat ia lengah, saat ia tidak mengatakan kata-kata perpisahan apapun.

Aku keluar dari pondokku dan mendengar jeritan para perempuan itu bergaung di udara dini hari ini. Tidak ada cara untuk mundur lagi. Aku toh memang tak mau. Aku sudah bersumpah untuk mengguyur bilah badikku dengan darah musuh-musuh Allah.

Aku berjalan dengan dada busung. Haram bagiku menundukkan kepala terutama dalam menghadapi lawan dan kematian.

Beberapa laki-laki Mangkasara, rekan-rekanku, teman-temanku, saudaraku … Daeng Mangalle, datang. Kesemuanya berkumpul di satu titik, tepat di lapangan kosong di perkampungan kami ini.

Aku melihat badik dan keris mereka yang terhunus juga telah basah oleh darah kental.

Lihat selengkapnya