Aku kenal orang itu. Ok-luang Mahamontri, salah satu panglima Pasukan Khusus Pengawal Kerajaan. Aku pernah beberapa kali bersinggungan dengannya pada masa-masa damai, pada masa-masa dimana kami masih memiliki hubungan yang baik. Ok-luang Mahamontri juga cukup dekat dengan salah satu pejabat Ayutthaya yang lain, Ok-phra Chula, yang bertugas untuk berhubungan dengan orang-orang asing, khususnya orang-orang muslim yang tinggal di Siam.
Percakapan kami dengan Ok-phra Chula tempo hari sudah gagal dan menemui jalan buntu. Lagipula, tidak ada seorang Mangkasara pun yang sudi keris atau badiknya dilucuti oleh orang lain, terutama para penguasa dari kerajaan ini.
Aku curiga bahwa Ok-phra Chula dan Ok-luang Mahamontri sama-sama ingin mendapatkan penghargaan dari Yang Mulia dalam keberhasilan mereka untuk membujuk orang-orang Mangkasara memohon ampun tanpa pertempuran. Ini karena Raja Phra Narai sedari awal terlihat tidak ingin melawan kami. Mungkin sekali ia takut dengan kekuatan kami serta masih ingin menggunakan kami untuk kepentingan kekuasaannya.
Itu sebabnya, Ok-luang Mahamontri malah meninggalkan pasukannya bersama 14 budak dari beragam bangsa, masuk mendekat ke arah wilayah pemukiman kami pagi-pagi buta ini.
“Oh-phra Chula …., Ok-phra Chula …,” panggilnya dengan suara tertahan agar terdengar dan tidak terlalu terdengar di saat yang sama.
Sebuah kejadian yang sungguh lucu menurutku. Apa dia mengira bahwa Ok-phra Chula ada bersama kami di perkampungan ini? Mungkin Ok-luang Mahamontri yang datang dari Lopburi, tidak mengetahui dengan terperinci bahwa Ok-phra Chula tidak lagi memiliki hubungan dengan orang-orang Mangkasara. Pejabat Siam itu telah gagal mencapai kesepakatan dengan kami tentang tata cara permohonan ampun kepada Raja. Ok-phra Chula yang sempat begitu bersemangat untuk mengindari peperangan itu, besar kemungkinannya juga dititahkan untuk memimpin pasukan menyerang kami.
Aku melihat ini sebagai sebuah kesempatan emas, seperti ucapan Daeng Mangalle, bahwa akulah yang akan menumpahkan darah pertama di dalam peperangan ini.
Lihatlah betapa konyolnya panglima perang itu. Ia berdiri di dalam kegelapan bersama ke-14 budaknya, bingung melihat kesana-kemari. Masing memanggil-manggil nama Ok-phra Chula tanpa tahu bahwa kami berada di balik rerimbunan pohon bambu dengan badik dan keris tergenggam di tangan.
“Ok-phra Chula … dimana kau? Aku meninggalkan markas dan pasukan untuk menemuimu. Bagaimana dengan pasukanmu?” ujar Ok-luang Mahamontri kembali dengan masih merendahkan suaranya.
Aku melirik ke arah rekan-rekanku yang sama-sama menunduk begitu rendah. Candu[i] kering yang kugenggam di tangan kiri sedari tadi kumasukkan ke mulut, kukunyah kuat-kuat. Ledakan kelegaan menjalar ke seluruh tubuhku melalui aliran darah. Aku merasa mampu terbang dan tak terkalahkan. Aku terkekeh tanpa suara dan menyeringai ke arah teman-temanku yang juga sudah melakukan hal yang sama. Otot-ototku serasa mengeras sekaligus meregang di saat yang sama.
“Apa maumu?” jawabku pada panggilan Ok-luang Mahamontri dengan menggunakan bahasa Siam yang sudah kupelajari dengan baik selama bertahun-tahun tinggal di negeri ini.