Aku, Jean-Luc Moreau[i], seorang perwira Prancis yang bekerja bersama bersama dengan 12 orang pasukan berdarah Inggris di bawah perintah Kapten Coates. Usiaku terbilang muda ketika sampai di Ayutthaya bersama rombongan pasukan asing lainnya. Ketika diterjunkan ke dalam pertempuran semacam ini, darahku masih menggelegak penuh semangat. Sayangnya, aku tak sadar bahwa gelegak darah para pemberontak Mangkasara itu jauh lebih keras dibanding darahku.
Kapten Coates yang berwajah tegas dengan kumis dan cambang pirang, memimpin pasukan Inggris bersenjatakan bedil, termasuk diriku, merasa bahwa kami dapat menakuti para pemberontak udik yang nekat dan bersenjatakan sebilah belati serta tombak itu saja. Ia sendiri mengenakan baju zirah cuirass[ii], baju pelindung gaya Britania Raya yang melindungi bagian atas tubuh saja, yaitu dada dan punggung. Besi atau baja yang ditempa dengan baik itu terlihat mengilap walau di kegelapan. Dengan pelindung dada[iii] yang dihiasi lambang kerajaan Britania Raya, pelindung bahunya[iv] bergemerincing ketika ia berjalan. Sedangkan pelindung punggungnya[v] yang berat terlihat mapan dan melekat erat.
Kami turun dari kapal perang Siam setelah yakin sudah dapat menaklukkan orang-orang Mangkasara setelah prajurit-prajurit Siam terlebih dahulu menyerang ke jantung pertahanan lawan. Mereka melemparkan bola-bola api[vi] ke atas atap, membakar dengan cepat bangunan-bangunan tempat tinggal orang-orang Mangkasara. Pelemparan bola-bola api ini ditemani dengan tembakan bedil dari pasukan Siam yang sepertinya cenderung asal-asalan.
Kapten Coates menyusul. Saat itu pukul 5.30 pagi. Api membumbung tinggi dari atap dan bangunan, bercampur warnanya dengan cahaya mentari yang sudah mulai terbit, meninggalkan kesan yang aneh tetapi menarik di saat yang sama.
Aku sejenak terpesona dengan lidah-lidah api yang menjilati angkasa pagi hari itu – mungkin aku tidak sendirian karena kami seperti tersentak kaget dengan apa yang baru saja terjadi.
Letupan bedil bersahut-sahutan dengan teriakan kumpulan orang, teriakan peperangan.
Mendadak di depan kami, pasukan pembedil Siam dan mereka yang menggenggam tombak maupun daab berlari mundur. Mereka digulung oleh puluhan orang Mangkasara bersenjata tombak yang berlari maju menyerang bagai kesetanan. Beberapa lembing dilemparkan begitu kuat dan cepat, bahkan melebihi kecepatan peluru. Pasukan Siam yang belum sempat mengisi kembali bedilnya tertancap lembing, sebelum puluhan orang Mangkasara itu menggulung mereka bak kumpulan banteng yang sedang mengamuk.
Laskar Mangkasara menjejak tubuh para prajurit Siam, menumbangkan mereka, kemudian mencacah dengan tusukan tombak. Para pembedil dan pelempar bola api kacau balau dan memutuskan untuk melarikan diri daripada melawan.
“Tahan! Tahan semuanya!” perintah Kapten Coates.
Namun, gerombolan orang-orang Mangkasara itu seperti gerombolan setan yang mengerikan. Aku dan dua orang prajurit Britania Raya sempat melepaskan tembakan. Dengan mata kepalaku sendiri aku melihat peluruku mengenai sasaran. Akan tetapi, ombak manusia itu seperti tak dapat ditahan lagi.
Aku berbalik, kemudian menahan tubuh Kapten Coates. “Kapten, kita harus mundur!” seruku dalam bahasa Britania Raya.
Sepertinya Kapten Coates juga merasa terkejut sedemikian rupa. Raut wajahnya di bawah pelindung kepala logam yang lebih tipis dibanding bahan zirahnya itu menggambarkannya dengan jelas.
Kami berlari mundur.