Tuan Udall, Kapten kapal perang HMS Herbert memutuskan turun bersamaku dengan beberapa prajurit menaiki tongkang yang lebih kecil. Kami harus dengan cepat terlebih dahulu menahan laju orang-orang Mangkasara yang terlihat sekali berniat menyerang ke seberang sungai kecil, tempat penduduk Paranggi berdiam. HMS Herbert terlalu lambat untuk berlayar ke sisi sungai di saat yang tepat.
Kami akan menyerang orang-orang Mangkasara itu sembari menunggu bantuan dari kapal terbuka yang dipimpin Monsieur Véret dan 15 kapal tongkang berisi pasukan Siam lain yang sedang menyusul kami.
Orang-orang Mangkasara itu terlihat di daratan, berkerumun, bagai semut-semut kerengga yang siap membantai siapa saja yang menghadang jalan mereka. Melihat pasukan Siam bersenjatakan ngao, perisai dan daab turun ke darat, berbaris menyamping membentuk benteng dengan tombak mereka yang mengacung ke depan, orang-orang Mangkasara itu menghilang bersembunyi di balik pepohonan bambu.
Aku ikut melompat turun dari tongkang, bersenjatakan sebatang lance di tangan dan dua bedil tangan menggantung di pinggangku. Di belakangku, delapan prajurit Prancis, dua prajurit Britania Raya, dua perwira Siam, dan seorang ronin Jepun bersiap dengan senjata mereka pula. Aku dan Tuan Udall berada di belakang pasukan Siam.
Ada celah dan dataran terbuka dengan pepohonan bambu yang begitu rapat bagai dinding alam yang dirancang mengetat sedemikian rupa. Kami sudah melihat bayangan pergerakan orang-orang Mangkasara di balik rerimbunan batang bambu tetapi tetap tak menyangka dengan serangan mereka.
Lemparan lembing disusul dengan laskar Mangkasara yang melaju dengan keris dan badik mereka, menikam membabibuta, berlari menunduk, kemudian mencelat bagai seekor katak hutan, atau menyasar bagian tubuh lawan seperti kaki, paha, dan perut.
Aku berseru memerintahkan orang-orang Prancis dan Britania Raya untuk menembaki musuh. Letusan bedil membahana. Dua orang Mangkasara jatuh tersungkur dan mati.
Semut-semut kerengga itu bubar, berlari masuk ke dalam rerimbunan pohon bambu kembali setelah berhasil membunuhi banyak pasukan Siam dalam waktu sekejap mata saja. Sepertinya, tindakan mereka ini membuat kami terpancing dan terjebak. Kami menyerang maju, merasa bahwa orang-orang Mangkasara itu ketakutan dengan ledakan bedil dan dua rekan mereka yang tewas. Nyatanya, tepat ketika kami berada di dataran berumput setinggi paha dan celah diantara dua hutan bambu, mereka kembali muncul, dengan lebih ganas kali ini.
Orang-orang Mangkasara melakukan amuk, menyerang dengan segenap tenaga mereka tanpa takut dengan moncong bedil ataupun bilah-bilah senjata tajam. Aku juga memperhatikan bahwa keberanian ini ditambah dengan candu yang mereka kunyah di mulut, membuat mereka seakan tak merasakan sakit sama sekali.
Pasukan Siam memang kesulitan menghadapi orang-orang Mangkasara bila tidak dibantu oleh para pembedilku, tetapi sang ronin begitu terampil menggunakan naginata[i]. Ia menombak dan memapras tubuh dua orang Mangkasara. Ketika naginatanya terlepas, ditangkap dan ditarik paksa oleh lawan, orang Jepun itu menghunus katana di tangan kanan dan wakizashi[ii] di tangan kirinya. Dengan kedua pedang itu, sang ronin menebas lawan, membuat mereka sedikit berjarak sembari pasukan kami mundur.
Kami berjarak sekitar 250 langkah dari sungai, tetapi aku tidak ingin kami mundur. Maka aku berteriak keras untuk memaksa pasukanku melawan mereka. Sang ronin telah berhasil membunuh dua orang Mangkasara lagi.
Aku menembaki musuh dengan bedil tangan kemudian menggenggam lanceku kuat-kuat dan menghambur maju ke depan seorang diri dengan tak sabar karena sepertinya tembakanku tidak berpengaruh banyak pada lawan.
Samar-samar aku mendengar Tuan Udall berteriak, “Aku akan ikut menyerang, Monsiur Constance!”