AMUK!

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #33

Amuk

Kematian Ok-luang Mahamontri sungguh membuatku meradang. Panas di dalam dadaku menggelegak sedemikian rupa. Maka, ketika akhirnya Monsieur Constance memerintahkanku untuk membawa 400 orang menyerang orang-orang Mangkasara, mencegah mereka menyebrang sungai kecil untuk melarikan diri atau menyerang tempat tinggal orang asing, aku tidak membuang-buang waktu lagi.

Aku merasa beruntung mendapatkan kesempatan langsung untuk menyerang mereka, dibanding Ok-phra Chula yang saat ini harus sabar menjaga markas. Bukan salahnya pula sesungguhnya ketika Ok-luang Mahamontri tertipu oleh orang-orang Mangkasara itu. Budak-budak yang selamat melaporkan bahwa Ok-luang Mahamontri memang sengaja untuk bertemu dengan Ok-phra Chula diam-diam, bertujuan untuk bersepakat melakukan satu usaha terakhir mendamaikan Ayutthaya dan orang-orang Daeng Mangalle itu agar tak ada darah tercurah lagi, sesuai keinginan awal Yang Mulia Paduka Raja Phra Narai.

Namun, sudah semakin jelas sekarang bahwa adalah sebuah kemustahilan berbicara dengan binantang buas. Mereka harus dicambuk atau dipukul dengan sebatang kayu keras agar paham dan menurut.

Benar kata Monsieur Constance, satu-satunya cara untuk menggempur para binatang buas itu adalah dengan kekuatan penuh, tidak tanggung-tanggung. Semangat mereka yang harus diakui luar biasa itu dapat membuat nyali prajurit Siam ciut dan akhirnya malah kami yang kocar-kacir.

“Ampun, Tuan Ok-phra Yommarat, hamba ingin melaporkan bahwa pergerakan musuh terlihat di sisi sungai, di rerimbunan semak-semak tinggi dan pepohonan bambu serta air pasang,” lapor seorang prajurit kepadaku.

Aku langsung bergegas memberikan perintah. “Baik. Semua pembedil berada di garis depan. Berikan dua lapis barisan dan menembak terus-menerus secara bergantian tanpa henti. Arahkan ke pepohonan bambu, entah kalian melihat pergerakan mereka atau tidak, yang jelas, pastikan arah tembakan kalian berada di depan sungai kecil. Kita akan menahan dan mendesak mereka mundur ke dalam. Yang membawa tombak bersiap di sisi-sisi barisan lapisan pertama dan kedua, bersiap menyerang siapa saja yang nekat menyerang kita.”

Sama seperti semangat dan ketidaksabaranku, letusan demi letusan bedil langsung mengemuka. Sasaran utama memang adalah rerimbunan pohon bambu dan rerumputan serta ilalang yang tinggi-tinggi. Pagi itu, asap bedil berbau bubuk api[i] merebak dan menguar di angkasa. Pelor menerjang hutan bambu, mencabik-cabik kulit dan daging bambu, mungkin juga orang-orang di dalamnya. Kaki kami terendam air setinggi lutut, tepat di sekitar rerimbunan bambu dan ilalang tersebut.

Teriakan peperangan penuh amarah dan keputusasaan terdengar kemudian, bersama dengan munculnya belasan orang Mangkasara yang mengamuk sebagai bentuk jawaban atas serangan tembakan tersebut. Air berkecipak ketika mereka meloncak bagai katak.

Dengan jelas, aku melihat tubuh mereka tercacah peluru. Barisan pertama penembak berhasil melukai mereka cukup parah, barisan kedua harusnya mampu mendiamkan mereka. Akan tetapi, sungguh, orang-orang ini tidak pantang menyerah. Mereka berusaha menggapai ke arah kami dengan keris dan badik mereka sebisa mungkin, selama nyawa belum benar-benar melayang.

Dua orang melemparkan tubuh ke arah pasukan pembedil, kemudian mengamuk, menebas, menusuk dan menjejak pasukanku. Tak pelak mereka yang belum sempat mengisi kembali bedil menjadi sasaran amukannya. Beberapa pembedil langsung tumbang.

Darah bercampur dengan air.

Lihat selengkapnya