AMUK!

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #34

Memanen Nyawa Laki-Laki Mangkasara

Kami mengamuk habis-habisan. Pasukan laknat itu telah mengepung kampung kami yang telah terbakar. Aku bangga dengan I Patau yang tewas di depanku setelah menghabisi empat orang sekaligus dalam sekali terkam, padahal ia telah terluka disekujur tubuhnya oleh pelor timah lawan. Ia pun tewas setelah dua orang prajurit Britania Raya menusuk tubuhnya dari kiri dan kanan.

Aku melemparkan lembing ke salah satu dari Farang itu, mengenai lehernya. Tak lama kerisku kemudian terbenam di pinggangnya. Satu Farang lain juga ikut tewas terkena tombak salah satu pengawalku.

Ah, tubuhku sudah hampir menyerah. Aku menghitung tepatnya lima tusukan tombak menghiasi tubuhku dan bahu kananku telah terluka tembak.

Aku memungut tombak, menatap sekali lagi wajah I Patau, menutup kedua matanya, kemudian undur diri, masuk ke dalam rumahku sendiri.

Dua orang anak laki-lakiku masih menyertaiku bersama seorang laki-laki muda Mangkasara sebagai pengawalku.

Puluhan orang dari laskar Mangkasara telah tewas. Monsieur Constance tahu bahwa kami tidak akan berhenti menyerang, mundur hanya bila terpaksa. Maka, ratusan pembedil mundur terlebih dahulu dari wilayah daratan kami yang tergenang air banjir. Dengan cerdas – atau licik – ia memerintahkan pasukannya untuk menanam papan-papan yang diberi paku di bawah banjir.

Ketika pasukanku menyerang dari balik rerimbunan ilalang dan hutan bambu, paku-paku itu menancap di telapak kaki mereka, menyakiti sekaligus melambatkan gerak laju mereka. Maka, pembantaian pun terjadi. Ratusan pembedil dengan mudahnya memanen nyawa laki-laki Mangkasara.

Kami sekarang sudah terdesak. Mereka sudah berhasil mengepung kampung kami. Beberapa dari kami yang memutuskan untuk melawan musuh di sisi sungai besar, tewas di sana, tenggelam dan hanyut entah kemana setelah meriam dan peluru menyobek tubuh mereka.

Aku berusaha berdiri. Kedua anak laki-lakiku, Daeng Ruru dan Daeng Tulolo, memapahku. Wajah mereka telah berpupur arang, dan terciprat darah serta keringat.

Aku tidak bisa menyembunyikan rasa bangga sekaligus sedih ketika menatap wajah keduanya. Mereka dilahirkan di tanah Siam ini, dan akhirnya harus berakhir juga di tempat yang sama.

Aku melepaskan kedua tangan mereka yang merangkul lenganku, kemudian aku yang merangkul kedua bahu mereka. “Mari kita berjuang sampai akhir,” bisikku.

Mungkin aku salah, tapi aku sedikit melihat usaha kedua anak laki-lakiku itu untuk menahan tangisan dan rasa sedih mereka. Keduanya menjadi saksi kematian ibu mereka di tanganku sendiri. Kini mereka juga melihat bagaimana ayah mereka sekarat, menunggu dijemput maut belaka. Namun, menangis haram hukumnya bagi laki-laki Mangkasara di Siam ini. Kami harus berjuang sampai titik darah penghabisan.

Aku berjalan keluar bangunan rumahku yang juga perlahan dilalap api. Di sekelilingku, tembakan terus terdengar. Satu rombongan pasukan pembedil diserang oleh tiga orang Mangkasara. Mereka mengamuk dengan jantan, dengan kekuatan yang tersisa, berhasil menjerembabkan musuh yang terlalu lama mengisi peluru, sebelum mereka juga akhirnya menggelepar mati di tanah.

Pengawalku menerjang maju ketika melihat lima prajurit Siam bersenjatakan tombak terlihat di depan mata. Ia menunduk, kemudian berteriak keras menusuk perut lawan dengan badiknya. Tiga orang tewas seketika, sedangkan dua yang lain terluka parah meski telah berhasil menusuk mati pengawalku.

Asap membumbung tinggi di sore hari itu. Satu hari penuh perlawanan kami telah menceraiberaikan pasukan lawan. Ratusan pasukan Siam telah berhasil kami bunuh dalam perlawanan dari matahari belum terbit sampai matahari hampir terbenam.

Lihat selengkapnya