AMUK!

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #35

Mati Dengan Wajah Tersenyum

Satu hari penuh akhirnya seluruh pemberontak Mangkasara bisa diberantas meskipun dengan harga yang mahal, kerajaanku kehilangan kurang lebih 1.000 pasukan serta perwira-perwira terbaiknya, termasuk orang-orang Farang yang ikut membantu[i]. 

Hanya ada 42 mayat orang Mangkasara yang ditemukan di daratan. Sisanya mati di sungai, tenggelam, atau hilang terbawa arus. Prajuritku juga berhasil menangkap 55 orang Mangkasara yang rata-rata dalam keadaan terluka parah atau sekarat. Semuanya tidak berteriak dan mengeluh sama sekali ketika kuperintahkan untuk kusiksa. Mereka tidak meringis ketika paku-paku ditancapkan ke kuku jari mereka, atau dahi mereka dijepit oleh dua bilah papan, atau ketika mereka dicambuk dan dipukuli berkali-kali sampai tulan-tulang di tubuh mereka patah serta luluh berantakan. Mereka bahkan tidak bergidik ngeri menyaksikan kaki mereka dikunyah oleh harimau selagi dalam keadaan hidup. Mereka malah mati dengan wajah tersenyum.

Aku menggelengkan kepala atas kekeraskepalaan mereka, sekaligus mengagumi keteguhan hati mereka[ii].

Sebesar itu keyakinan yang mereka anut, entah di dalam agama mereka, ataupun kebudayaan yang mereka sebut sebagai siri’ tersebut. Aku cukup menyesal dan sedih karena tidak bisa kembali mendapatkan jasa-jasa mereka serta memanfaatkan kepiwaian serta keterampilan mereka baik dalam peperangan maupun pelayaran. Andaikata mereka mau saja bekerjasama dengan orang-orang yang berbeda dengan mereka seperti orang-orang Farang yang sudah maju itu, mungkin mereka semua akan mendapatkan manfaatnya pula[iii].

Namun begitu, aku, Phra Narai, adalah seorang raja, seorang pemimpin, seorang penguasa. Aku tidak boleh memperkenankan siapapun memamerkan kelemahanku. Terlalu banyak pasang mata yang memperhatikan segala gerak-gerikku untuk kemudian menyerang di saat aku lengah. Unjuk kekuatan tentara dan senjata adalah niscaya. Maka, semua mayat orang Mangkasara kuperintahkan untuk dipancung, kemudian kepala mereka ditancapkan pada tongkat kayu untuk dipamerkan ke seluruh negeri, termasuk ke wilayah kampung Mangkasara yang berdekatan pula dengan pemukiman orang-orang Melayu dan Champa.

Ini adalah jawabanku atas pemberontakan yang terjadi serta merupakan lambang perlawanan atas segala jenis perlawanan, pemberontakan dan makar.

Aku kembali menebarkan rasa takut sehingga semua rakyat patuh pada segala keputusan dan kebijakanku. Semua hanyalah kebijaksanaan yang paling tepat bagi seluruh negeri.

Begitu disayangkan mengetahui bahwa seluruh orang Mangkasara di tanah Siam sudah habis, tewas, kecuali dua orang anak laki-laki Daeng Mangalle yang bernama Daeng Ruru dan Daeng Tulolo. Anak pertama Daeng Mangalle masih berusia 14 tahun dan adiknya 12 tahun. Mereka masih sangat belia, tetapi keteguhan hatinya sama dengan semua orang Mangkasara.

Di dalam peperangan, mereka sama-sama telah memanen banyak jiwa. Dengan berbekal keris di tangan, sama seperti mendiang ayah mereka, membunuh lawan bahkan tanpa terluka seperti semudah membalik telapak tangan saja.

Walaupun Daeng Ruru dan Daeng Tulolo menyerah dan masih hidup sampai sekarang, aku tidak pernah menganggap mereka sebagai sosok yang lemah dan pengecut dibandingkan laki-laki Mangkasara lainnya yang telah gugur di medan laga. Keduanya bagaimanapun memiliki darah pangeran, darah biru, yang harus terus hidup demi menunjukkan kebesaran leluhur orang-orang Mangkasara.

Lihat selengkapnya