Seorang laki-laki berusia di akhir empat puluhan tahun, dengan rambut mulai memutih bagaikan perak kusam yang belum dibersihkan, berdiri tidak jauh dari rel kereta api di timur Stasiun Kota Yogyakarta. Jaket yang dikenakannya berwarna cokelat kehitaman, sepadu padan dengan celana dan sepatunya yang juga berwarna gelap. Ia mematung. Ketika kereta keluar dari stasiun sampai gerbong terakhir tak terlihat, laki-laki itu berteriak.
“Tidak! Tidak!”
“Gusti! Gusti!“
Ia membekap wajah bersama kedua telinganya dengan kedua telapak tangan. Wajahnya menunduk memandang aspal hitam di bawah kakinya meski dengan mata setengah tertutup. Kakinya mulai melangkah menyeberangi jalan raya hingga sampai di trotoar tepat di depan Hotel Gajah Mada lantas mengambil arah ke kiri, menyusuri Jalan Malioboro. Laki-laki itu terus berjalan dengan pelan ke selatan, sementara suara kereta berangsur-angsur hilang ditelan oleh suara kendaraan di jalan raya.
Dari arah yang sama, seorang perempuan awal dua puluhan tahun terlihat berjalan bergegas. Matanya menunduk, tetapi seperti sedang mengingat-ingat sesuatu yang terlupa dari ingatannya. Perempuan itu memakai celana jeans biru dan berkaos putih lengan panjang. Di depan gedung dewan, laki-laki itu berhenti sejenak dan mengamati pohon beringin yang ada di halaman komplek perkantoran legislatif itu. Perempuan yang berjalan dari arah belakangnya memperlambat langkahnya di sisi trotoar yang berdekatan dengan jalan raya, melihat dari belakang kepada laki-laki yang menghadap ke arah berlawanan itu. Perempuan itu seperti ingin mencari tahu apa yang terjadi dengan laki-laki yang dilihatnya berteriak saat melihat kereta yang baru keluar dari stasiun. Mungkin, laki-laki yang wajahnya masih terlihat menawan itu sedang menderita gangguan jiwa. Namun, mengapa petugas Pamong Praja membiarkan orang gila berkeliaran di tempat-tempat umum, pikirnya.
Setelah melihat beberapa lama tanpa sepengetahuan laki-laki yang diamatinya, ia tahu jika laki-laki itu tidak menderita gangguan jiwa, juga tidak terlihat seperti orang yang baru saja keluar dari rumah sakit jiwa. Meski, wajahnya nampak murung, kelabu dan bagai terkubur kebingungannya sendiri. Dibiarkannya laki-laki itu berdiri mengamati pohon di sebarang pagar dan ia pun kembali mempercepat langkah menyusuri trotoar.
Di Kafe Ascenseur yang berlantai dua dan terlihat estetik dengan dinding-dinding dan atap yang tersusun dari bekas kontainer yang dibiarkan tetap seperti warna aslinya, perempuan itu menghentikan langkah. Dari serambi kafe yang berhadapan langsung dengan trotoar, seorang pemuda berbaju kotak-kotak lengan panjang yang terlihat berusia di pertengahan dua puluhan tahun, berdiri dan melambaikan tangan dan memanggil dengan suara sedikit berseru.
“Ganis!”
Tiga laki-laki yang terlihat semuanya lebih berumur dibanding dengan pemuda yang memanggil itu, menoleh ke arah Ganis. Salah satu dari ketiganya berdiri dan memberikan kursi yang dipakainya lantas mengambil satu kursi di meja lain yang tidak terpakai.
“Perkenalkan, inilah Ganis. Seperti yang sudah kita bicarakan kemarin-kemarin, aku tetap mengajukannya sebagai salah satu pemeran utama dalam proyek kita.”
“Aku tahu kamu pasti memiliki pilihan tepat,” kata seorang yang bernama Maramis.
Bersama dengan Wadi Salim, Sutono Maramis merupakan orang dari salah satu rumah produksi di Bandung yang giat memberikan dukungan untuk proyek-proyek perfilman yang bersifat dokumenter dan potensial untuk pasar di dalam negeri, Perhimpunan Akar Media. Sebuah upaya kerjasama yang sudah berjalan tiga tahun bersama dengan yayasan penyokong dana kebudayaan dari Belanda, Europeanen in Indonesia Studies (EIS) yang diwakili oleh seorang yang duduk di antara mereka, Henriette Palmir.
Mereka memanggilnya Henri. Laki-laki awal empat puluhan tahun itu sebetulnya sudah hampir sepuluh tahun tinggal di Indonesia, fasih berbahasa Indonesia, selain karena kakeknya yang berasal dari Maluku dan pindah menetap di Belanda di akhir tahun empat puluhan setelah kedaulatan Indonesia mendapat pengakuan dari dunia internasional. Henri pernah menikah dengan perempuan dari negerinya, namun mereka berpisah lima tahun yang lalu. Mantan istrinya itu kembali ke Belanda dengan membawa satu-satunya anak hasil perkawinan mereka yang bertahan tidak kurang dari enam tahun itu.