Tiga tahun yang lalu Susanti berpamitan pada orang tuanya di Kaliawir untuk pergi ke Surabaya. Kehidupan pesisir selatan tidak memberikan kesempatan pada Santi yang tamatan Madrasah Aliyah. Untuk kerja di pabrik kulit milik Haji Mangun pun rasanya tidak mungkin, sebab yang dibutuhkan adalah mereka yang berpengalaman. Terlebih untuk kerja kantoran, misalnya di kantor kredit. Koperasi dan bank perkreditan pasti memilih mereka yang memiliki uang dan ijazah sarjana. Jadi ke Surabaya adalah pilihan terbaik. Setidaknya ia dapat pekerjaan dan jarak yang bisa ditempuh dengan bus atau kereta.
“Mak, Santi selepas lulus sekolah nanti mau bekerja.”
“Bekerja apa Nduk? Di mana Nduk?”
Perempuan yang menanjak senja dengan jemarinya yang mulai keriput itu tetap melipat lembaran-lembaran daun pisang. Namanya Sumilah.
“Santi ingin ke Surabaya. Santi juga belum tahu di sana nanti bekerja apa.”
“Mbok dipikir dulu to Nduk. Apa tidak ada pekerjaan di sekitar sini?”
“Apa mungkin hanya dengan ijazah aliyah bisa mencari kerja di sini Mak? Lihatlah Mbak Laila dan Mbak Ranum, mereka yang lulusan perguruan tinggi di Jogoroto saja masih menganggur, mereka masih mencari pekerjaan sampai sekarang.”
“Lha mereka itu anaknya orang punya, orang tuanya pegawai kecamatan.”
“Tetapi intinya Mak, sekarang susah mencari pekerjaan di sini.”
Santi tertunduk. Mengambil segelas air dari cerek dan meminumnya dua kali.
“Santi ingin mencari pekerjaan di Surabaya agar sewaktu-waktu bisa mengunjungi Emak.. itu pun kalau Santi mendapat pekerjaan. Jika nanti di Surabaya, Santi sulit mendapatkan pekerjaan, Santi akan ke luar negeri Mak, ikut pelatihan jadi TKW. Boleh kan Mak?”
Sumilah terkesiap. Sorot matanya tidak bisa disembunyikan dari anak perempuannya. Sorot mata yang mengandung kecemasan, kekhawatiran, kegundahan dan beragam perasaan orang tua yang mengenang sesuatu nun jauh ke belakang, sepuluh tahun silam.
“Kakakmu sampai hari ini belum ada kabarnya. Dulu ia nekat berangkat ke Malaysia.”
Emak dan anak perempuannya sesaat tercekam bisu. Saling mengingat.
“Kakakmu itu laki-laki yang berbeda dari teman-teman seusianya. Tetapi yang Emak takutkan itu justru karena itu. Kadang kakakmu suka sesuatu yang di luar nalar dan dugaan.”
“Santi yakin Mas Imam masih ingat dengan kita. Santi percaya itu.”
Imam Kowor sejak kecil rajin mengaji dan suka belajar, maka tidak mengherankan jika Imam selalu menjadi juara kelas. Tetapi kondisi orang tua yang hanya sebagai buruh tani di daerah gersang di pesisir selatan, membuat Imam tidak memiliki kesempatan meneruskan belajar sampai ke aliyah. Selepas tsanawiyah, Imam meninggalkan kampung ikut merantau bersama teman-temannya ke Malaysia. Santi masih beruntung dapat menamatkan aliyah, meski dengan terseok-seok menyelesaikan sekolahnya di kota kecamatan, Kaliawir. Pada tahun-tahun pertamanya, Imam masih mengirimkan uang yang meringankan beban kebutuhan orang tua dan membantu biaya pendidikan adik perempuannya. Tetapi menginjak tahun ke empat dan selanjutnya, Imam sudah tidak mengirim uang. Kabarnya pun berangsur-angsur hilang.
Dua bulan setelah kelulusan, Santi meninggalkan rumah. Tangis orang tuanya seperti mata air yang keluar dari balik kelopak mata yang berkerut. Santi mencium tangan kedua orang tuanya setelah memeluk mereka cukup lama. Sudah tidak ada pilihan baginya, sekarang atau tidak sama sekali. Dari Terminal Jogoroto, Santi mengambil bus jurusan Kediri kemudian mencari bus rute Yogyakarta Surabaya. Bus dari arah Surabaya berhenti dan membawa Santi ke arah barat. Siang itu udara terasa panas. Menjelang malam Santi tiba di Terminal Giwangan, Yogyakarta. Santi tidak salah jurusan. Tujuannya memang ke Yogyakarta, bukan ke Surabaya.
***
Langit Yogyakarta sedang menggantung mendung, menyemburatkan kilat dan anak angin, menerjang tirai di Wisma Barbara. Bayang-bayang menara provider seluler nampak samar menghitam, menusuk langit malam. Sementara tidak ada kesunyian yang bergerak di atas meja dihamparkan wajah kota. Santi sudah menghilangkan pertanyaan tentang warna apa ia akan dibangkitkan dari tulang ekornya. Sementara bumi berubah sejak ribuan juta tahun lalu, benua menyatu dan memisah, lautan menyempit dan juga meluas. Bukan pula sebuah lukisan dengan warna tunggal pula. Tampakan dan realitas menjadi sebuah catatan kecil dari tahun-tahun yang digulung sisa-sisa kenangan Santi pada pertengahan tahun pertama beradu dengan nafas kota Yogyakarta.
Ketika pagi mengubah jalanan yang lengang di depan Wisma Barbara menjadi lalu-lalang, Santi mengayuh sepeda sendiri. Santi masuk lebih dalam ke jalan yang di bilah kanan -kirinya padat berjajar etalase yang tertutup rollingdoor. Di sebuah gang di antara bangunan-bangunan dengan wajah alumunium itu, Santi berhenti di depan warung makan. Sepi. Meja-meja belum ada yang menunggu. Dua buah lampion merah menggantung di tengah ruangan. Santi mematung di tepi meja, tidak terlihat penjualnya. Santi ingin menghangatkan badan dengan secangkir kopi sebelum mengisi perutnya dengan nasi. Mungkin kedai itu belum ingin menerima pembeli, Santi melangkah pergi. Belum berselang langkah, seorang perempuan muncul dari balik tirai kerang, menanyakan sesuatu ke Santi. Rambutnya, yang jika dibiarkan berderai, sebahu tak kurang, dikepang ke belakang. Handuk putih menempel di pundaknya, tubuhnya yang padat berisi memakai kaos warna putih yang mulai keruh.
“Mulai hari ini aku tidak jualan lagi San,” kata perempuan pemilik warung.