AMUK

Aziz Abdul Gofar
Chapter #4

Dunia Ideal

Namaku Ganis Kinasih Rahardjo, lahir dan tinggal di Jakarta sampai umurku sepuluh tahun. Setelah menamatkan jenjang sekolah pertama, aku dibawa orang tuaku ke Kota Rimba sampai aku meninggalkan tanah Papua untuk masuk perguruan tinggi di Yogyakarta. Di sebagian masa sekolah dasarku, selama dua tahun, aku mondok di salah satu daerah di Jawa Timur, sebuah kabupaten yang memiliki banyak pondok pesantren, Ponorogo. Karena pesantren kami belum memiliki jenjang pendidikan sekolah dasar, pada pagi harinya kami bersekolah di SD Wijaya, sebuah sekolah dasar negeri tidak jauh dari pesantren. Namun, setelah menamatkan sekolah dasar, orang tuaku membawaku kembali ke Jakarta. 

Alasan mereka menarikku kembali ke Jakarta, seperti umumnya orang tua yang tidak ingin terpisah jauh dengan anak-anaknya, sebab kakak laki-lakiku juga sedang menempuh pendidikannya di salah satu pesantren di Ponorogo. Jika pun ada alasan lain, aku juga tidak bisa memahaminya. Bagaimana mungkin anak usia sekolah dasar bisa memahami rasionalitas orang dewasa dengan kompleksitas alam pikirannya? Apalagi jika sudah terkait dengan hal-hal yang lebih rumit seperti ego dan naluri. Atau suatu perkara yang sangat abstrak bagi anak-anak seperti kehormatan, kenyamanan batin dan proyeksi terhadap masa depan yang di kejauhan.  

“Aku tidak ingin rumah ini seperti bangunan tanpa kehidupan. Lihatlah Ayahmu yang jarang berada di rumah. Pekerjaannya menjadi prioritas utama.” Kata Ibuku sebelum aku keluar dari pesantren, menjelang kelulusanku dari sekolah dasar.

“Bukankah Ayah sejak dahulu seperti itu?”

“Namun, Ibumu ini tetap ingin kamu sekolah di sini.”

“Tetapi, aku sudah mulai kerasan tinggal di pondok.”

“Nanti kamu juga akan merasakan suasana seperti itu kembali.”

“Kapan? Mengapa tidak dari sekarang saja?”

“Nanti, mungkin ketika kamu sudah masuk perguruan tinggi.”

Aku tidak dapat mendebat keputusan Ibu yang katanya juga sudah dibicarakan dengan Ayah sebagai pemegang bagian besar kendali setiap keputusan penting di dalam keluarga. Seperti pilihan pendidikan untuk kami, bagaimana kami akan menghabiskan liburan sekolah atau bagaimana kami menyikapi sebuah kesenangan terhadap sesuatu. Lagi pula apa yang menjadi pertimbangan anak usia sekolah dasar terhadap putusan-putusan penting di dalam kehidupannya? Terkadang, aku membandingkan dengan kakak laki-lakiku atau adikku. Bukan hanya karena mereka laki-laki, tetapi orang tuaku seperti melihatku dengan cara yang berbeda dibandingkan dengan saudara-saudaraku itu. Apakah mungkin karena aku merupakan anak perempuan satu-satunya? Namun, mengapa harus berbeda? Bukankah setiap anak memiliki keputusan untuk memilih cara hidup yang ingin dijalaninya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu sering kubuang jauh-jauh dan mengisi celah rongga yang ditinggalkannya dengan kesenangan-kesenangan yang dapat kulakukan, seperti bermain dengan teman-temanku.

Sebetulnya tidak ada yang istimewa dariku, selain secara fisik aku terlihat berbeda. Aku memang keturunan Jepang dan Jawa Belanda. Ibuku berasal dari perfektur timur, lebih akrab dengan angin Pasifik dari pada dengan bentang laut yang menghubungkan negerinya dengan Asia Daratan. Sedangkan Ayah merupakan sosok laki-laki yang mencintai adat-istiadat tanah kelahirannya, Jawa. Meskipun kedua orang tuanya, kakek nenekku, bukan semuanya dari Jawa. Kakek berasal dari Rotterdam, Belanda dan nenek dari Yogyakarta.

Lihat selengkapnya