AMUK

Aziz Abdul Gofar
Chapter #3

Pelangi Kebebasan

Meninggalkan pesantren seperti terpenggal dengan dunia yang sudah tumbuh di dalam diriku. Dengan diantar Ayah, aku mendaftar ke sebuah sekolah unggulan di Jakarta Selatan, tidak jauh dari tempat tinggal kami. Aku mulai menyadari, Ayah juga menyimpan kecemasan jika anak perempuannya jauh dari rumah. Meskipun Ayah sendiri jarang berada di rumah, karena Ayah sering bekerja di luar Jawa. Sepengetahuanku, Ayah beberapa kali berpindah tempat bekerja, seperti di Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat. 

Baru ketika aku di kelas dua SMP, Ayah menyampaikan satu berita di saat kami makan malam yang membuat matanya berbinar, termasuk Ibuku. Ayah akan pindah bekerja ke Papua. Bukan tempat baru yang terdengar menyenangkan dan menawarkan babak pengalaman lain, tetapi tempat di mana Ayah akan bekerja nanti adalah impian yang hampir selalu berada di kepala para pekerja tambang, terutama insinyur pertambangan seperti Ayah.

“Untuk sementara, kalian tinggal di sini dan Ayah akan tinggal di asrama perusahaan. Namun, biasanya tidak lebih lama dari setahun, perusahaan akan menyediakan sebuah rumah tempat tinggal di Rimba. Mereka memiliki hunian dengan lingkungan yang sangat nyaman.”

“Rimba? Apa itu seperti asrama untuk keluarga?” tanya Ibuku.

Ayah tersenyum dan menghentikan suapan dari piring makan di depannya. Kadang aku berpikir, mengapa Ibu tidak memilih menjalani hidup seperti Ayah dengan menjadi profesional sesuai dengan disiplin keilmuannya. Apakah dengan mengurus rumah tangga seperti sekarang menjadi pilihannya sendiri atau karena kesepakatan? Atau sebab-sebab lain yang belum dapat kumengerti? Dalam pandanganku, Ibu tidak kalah mengesankan ketika menerangkan sebuah rumusan teknik secara sederhana agar dapat dipahami orang lain dengan mudah.

“Ini kota yang lebih baik dari kota-kota yang pernah kutempati, bahkan kota-kota di Jepang itu pun tidak ada yang bisa seperti kota ini. Bayangkanlah sebuah kota yang berada di tengah belantara hutan. Namun, kota itu jauh lebih baik tata wilayah kotanya, infrastruktur dan fasilitas umumnya, udaranya, lingkungannya, keamanannya dan jaminan kesejahteraannya. Bukankah kota seperti itu hanya ada di negeri-negeri khayalan dalam novel-novel yang kalian baca itu? Bukankah kota seperti itu adalah hunian terbaik yang pernah ada di muka bumi?”

Setelah keterangan Ayah yang mencengangkan itu, tidak lama berselang, kami pindah ke kota belantara yang disampaikannya dengan indah dan menarik perhatian kami itu. Karena di Rimba memang memiliki fasilitas seperti kota-kota dengan peradaban, aku melanjutkan sekolahku di sana, termasuk adikku. Aku belum bisa merasakan perbedaan ketika tahun-tahun pertama bersekolah di SMA Rimba. Namun di tahun kedua, aku mulai melihat sesuatu yang akhirnya menjadi pertanyaan-pertanyaan yang hanya dapat kusimpulkan sendiri jawabannya.

Aku tidak akan menceritakannya di dalam bagian ini, tetapi apa yang kusebut sebagai sesuatu yang akhirnya menjadi pertanyaan-pertanyaan itu, akan keluar dengan sendirinya pada bagian-bagian lain. Atau mungkin sudah muncul, tetapi benang halus yang mempertautkannya begitu halus seperti jalur yang menghubungkan bagian-bagian di dalam belantara kepala kita. Apa boleh buat, meskipun banyak yang ingin kusampaikan, apa yang keluar justru bagian dari sisi lain dari apa-apa yang sebetulnya kusisihkan untuk tidak atau belum ingin kukeluarkan, misalnya masalah-masalah di dalam keluargaku.

Perbedaan yang kami jalani dan telah menjadi bagian yang tidak dapat kami pisahkan itu selalu memiliki sisi lain yang harus kami rawat dengan baik agar tidak melahirkan beragam persoalan yang dapat merambah keluar hingga menjadi kerepotan yang serius. Perbedaan asal-usul orang tuaku, perbedaan mereka menjalani peran dalam kehidupan keluarga kami, beragam kisah yang memiliki orientasi dan akarnya yang berlainan, semua itu sudah cukup membuat kami terlihat seperti pelangi di langit terang, memiliki warna masing-masing tetapi disatukan di dalam satu bentuk. Siapa pun dapat melihatnya dengan jelas tanpa perlu mempertanyakan bagaimana pelangi muncul, meskipun orang-orang memiliki pelanginya sendiri-sendiri yang mereka sembunyikan dengan baik sehingga tidak terlihat orang lain. Dan bisa saja, pertanyaan-pertanyaan itu pada akhirnya menjadi pertikaian anak-anak yang berdebat di mana ekor dan kepala pelangi yang mereka lihat itu. 

Bagaimana aku tidak membawa-bawa perdebatan tentang persepsi anak-anak terhadap penampakan pelangi, tentang apa yang terlihat dan bagaimana realitasnya? Karena pelangi itu sesungguhnya tidak ada, pelangi itu tidak nyata. Akhirnya aku menemukan pertanyaan lain, bagaimana sesuatu yang tidak ada menjadi ada? Bukankah sebetulnya, mata kita sendiri yang membuatnya menjadi ada. Jadi, sesungguhnya pelangi itu hanya ada di mata manusia. Pelangi bersembunyi dalam ilusi yang dibentuk karena kelemahan mata dalam memandang kenyataan di balik kenyataan. 

Dahulu, Ayah berkata, “Lihatlah pelangi itu,” tangan kanannya menunjuk ke atas bentangan sawah sementara tangan kirinya tetap menggenggam setir mobil, “buatlah hidupmu berwarna-warni, indah dan membuat semua orang yang memandangmu senang.” Saat itu kami sedang berkendara dari pondokku ke pondok Kakak yang berjarak sepuluh kilometer melewati perkampungan desa yang asri dan jalan di antara bentangan sawah. Pelangi yang membentang panjang itu berlatar Gunung Wilis dan deret perbukitan. 

Aku sering melihat Gunung Lawu yang sering terlihat dengan jelas dari pondok ketika cuaca sedang cerah, beberapa ustadz pernah menceritakan kisah menarik perihal gunung yang berada di antara dua provinsi itu. Akan tetapi aku hampir tidak pernah melihat Gunung Wilis seperti sekarang, berbeda dengan Kakakku yang dari pondoknya dapat melihat gunung itu seperti aku melihat Gunung Lawu. Namun, apa yang menarik dari kedua gunung itu bagiku? Mengapa aku menceritakannya di bagian ini? Aku bukanlah siapa-siapa dan kupastikan tidak memiliki hubungan khusus dengan keduanya. Kecuali, aku seorang anak perempuan dari jauh yang sedang menempuh pendidikan di antara dua gunung besar itu. 

Di bulan Januari seperti sekarang, tanaman padi seperti hamparan permadi hijau yang membentang di bawah kaki gunung itu dan disempurnakan oleh perbukitan yang memanjang sampai ke Laut Selatan. Bukankah realitas yang demikian adalah pemandangan yang tidak bisa ditolak oleh mata siapa saja? Bukankah realitas yang sedang kulihat adalah kenyataan yang tidak perlu diperdebatkan? Hanya orang-orang yang tidak memiliki waktu saja yang menolak dengan dalihnya sendiri. 

Perbukitan yang kusebutkan itu merupakan pembatas alami dengan daerah Trenggalek, sebuah kabupaten yang ingin kukunjungi. Aku ingin ke Trenggalek setelah mendengar seorang ustadz yang mengisahkan tentang keadaan Trenggalek yang tenang dengan orang-orang yang masih banyak menjalani keseharian dengan cara-cara tradisional. Mereka tidak menghiraukan perubahan zaman yang begitu cepat terjadi, seperti apa-apa yang kulihat di Jakarta. Trenggalek adalah tempat yang nyaman untuk menenangkan diri dan sangat nyaman untuk tempat belajar. Siapa yang tidak ingin menjadi bagian keadaan seperti itu? Apa yang dicari manusia selain kenyamanan dalam menjalani kehidupan? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu sering kusangkal sendiri dengan mengingat bahwa aku anak kota yang bisa saja keliru menilai tempat-tempat baru seperti daerah yang diceritakan ustadzku dengan sangat menariknya itu.

Ustadz Anshari namanya. Beliau bukan berasal dari Trenggalek, tetapi dari Ngrayun, sebuah kecamatan yang berbatasan langsung dengan Trenggalek dan Pacitan. Perihal-perihal yang disampaikan beliau mengenai kampung halamannya yang terletak di perbukitan selatan itu selalu menarik perhatian kami, anak-anak kota yang hanya bisa membayangkan dengan penggambaran yang sangat terbatas. Namun bagiku, Ustadz Anshari seperti sedang memberi sihir yang membuat angan-anganku melayang membayangkan kehidupan di kampung beliau yang jauh dari hiruk-pikuk lautan manusia di kota. Dalam pikiranku ketika itu, suasana seperti itu hanya dapat kunikmati dalam suguhan acara-acara di televisi nasional yang menyiarkan safari desa dalam derap program-program pembangunannya.

Dan soal acara-acara pembangunan desa itu, aku pernah bertengkar dengan Kakakku yang selalu lebih mengetahui banyak hal. Kami meributkan acara-acara yang membuat desa terlihat nampak terbelakang dan jauh dari peradaban sebagaimana kami yang ada di kota. Dan Kakak akan membela dengan argumennya bahwa acara itu bagian dari penyiaran informasi agar masyarakat mengetahui bahwa pembangunan bukan hanya di kota-kota saja, tetapi menjangkau seluruh wilayah. Namun, Kakak luput melihat jika yang ingin kusampaikan bukan perihal pembangunan itu, tetapi kenyamanan dalam alam pedesaan yang lambat laun akan tergerus dengan berbagai pembangunan yang mau tidak mau memang menjadi keharusan. 

“Apakah pelangi itu bisa dipegang?” 

Ayah tidak menjawab pertanyaanku, tetapi memandang lurus ke depan. Jalan yang kami lalui meski sudah beraspal, tetapi tidak seberapa lebar, sehingga Ayah harus lebih berhati-hati ketika berpapasan dengan kendaraan dari arah berlawanan. Apalagi ternyata hari sedang pasaran, orang-orang semakin ramai ketika kami mendekati persimpangan Jetis. 

“Pelangi itu tidak bisa dipegang,” jawab Ibuku dari samping Ayah yang terdiam.

Lihat selengkapnya