AMUK

Aziz Abdul Gofar
Chapter #6

Memulai Babak

Dengan bekerja di PT. Mandala, Santi mengambil langkah memasuki bangku kuliah yang dicita-citakan. PT. Mandala merupakan penyedia layanan pelanggan sebagai pihak ketiga yang bekerja sama dengan beberapa provider telekomunikasi. Uang pesangon yang ia dapatkan dari Om Rusdi habis untuk membayar biaya pendaftaran, uang pangkal, iuran semester pertama dan biaya-biaya awal masuk perguruan tinggi. Santi juga pindah ke Sapen, perkampungan di dekat tempat kuliah dan tempatnya bekerja, ke kamar kos khusus perempuan di gang sempit perkampungan Sapen, sekitar tiga kilometer ke arah timur dari tempat tinggal sebelumnya. Dan Halimah pindah ke utara, ke daerah di Kaliurang Atas. Halimah masih bekerja di tempat hiburan, seperti saat masih di Sagan. Tetapi yang berbeda, Halimah mengambil program paket C, seperti yang disarankan Santi. Mereka sering bertemu di sekitar Tugu dan di Ringroad Utara, menikmati makan malamnya di angkringan dan warung-warung lesehan.

Santi menekuk punggungnya di depan meja kayu dalam kamarnya, setelah membuka daun jendela tidak jauh dari kasur kecil merapat di dinding. Kepalanya sesak oleh desakan untuk menemukan cara mencukupi kebutuhan hidupnya di Yogyakarta dan sudah barang tentu biaya pendidikan. Santi termenung menatap jendela kamar, kecemasan yang menumbuhkan bayangan di dinding kamar seperti telah menemukannya sejak meninggalkan Jogoroto. Santi sudah menghilangkan pertanyaan tentang warna apa ia akan dibangkitkan dari tulang ekornya. Sementara bumi berubah sejak ribuan juta tahun lalu, benua menyatu dan memisah, lautan menyempit dan juga meluas. Di mana manusia saat itu, pikirnya. Ia bergumam.

Beberapa hari belakangan wajah kedua orang tuanya juga sering muncul. Sejak kepergiannya dari Jogoroto, Santi hanya mengirim uang satu kali yang jumlahnya juga tidak seberapa. Padahal ia sudah menghemat berbagai pengeluaran seperti kebutuhan akan makanan dan pakaian. Sudah ia buang jauh-jauh keinginan untuk hidup seperti anak-anak muda di kota seperti nongkrong di kafe-kafe mahal, belanja di pusat perbelanjaan, jalan-jalan keluar kota dan nonton di bioskop. Bahkan ia tidak memiliki kendaraan seperti motor apalagi mobil. Ia hanya mampu membeli sepeda bekas dari uang bonus yang diberikan bosnya dahulu. Dengan begitu, tidak ada uang yang keluar untuk perawatan kendaraan dan bahan bakarnya. Santi juga sudah memangkas biaya makan dengan hanya mencukupkan makan satu atau dua kali dalam sehari, itu pun dengan menu makan yang paling murah yang bisa didapatkan. 

Untuk urusan makan ini jauh berbeda saat Santi masih bekerja di Sagan. Badannya terlihat sehat dan segar, sehingga raut wajah cantiknya semakin terlihat. Dahulu, Santi dapat mencukupkan kebutuhan makan selain mendapat jatah dari tempat kerja. Namun, kondisi kesehatannya sekarang menurun. Santi sering mengeluhkan sakit kepala dan gejala maag yang sudah dua kali menyerang. Semua kendala kesehatan itu tidak lain berasal dari pola makannya yang tidak teratur jika tidak dikatakan Santi sekarang kekurangan makan, stres karena banyak tanggungan dipikirkan dan kondisi kesehatan jiwa yang tertekan keadaan. 

Santi menegakkan kepala dan mencoba membuka buku materi kuliah yang akan diujikan besok karena sedang ujian tengah semester. Namun, kepalanya mulai berkunang-kunang karena tidak ada makanan yang masuk ke dalam perutnya sejak siang. Santi ingin ke jalan di depan gang, mencari penjual makanan. Tetapi ingatannya menuju pada tanggungan uang semester depan dan membayar uang kos yang sudah telat. Padahal gaji dari PT. Mandala tidak cukup untuk menutup semua kebutuhan itu. Santi urung keluar dan memilih tiduran di atas kasur kecilnya. Lebih baik makan besok sekalian, pikirnya. 

Terdengar suara bip dari seluler yang sedang diisi baterai. Dengan malas Santi meraih selulernya. Santi menduga dari teman-teman kerja, atau mungkin teman-teman kuliahnya. 

 ‘Tubuh bukan hanya untuk mencari makan, selalu ada kenyataan dari sebuah tujuan.’ Wajah Santi yang sebelumnya bertekuk, terlihat berbinar. Jemarinya bergerak membalas pesan. Tidak lebih dua menit berikutnya, seluler yang tergeletak di atas ranjangnya kembali berbunyi.

‘Rindu tak pernah bertepi, meskipun api membajak setiap petak tanah demi bangunan baru yang membumbungkan janji. Selalu ada kisah yang beterbangan di antara kaki-kaki kota. Seperti menikmati secangkir kopi hitam di bawah malam, suaramu merayap dan jatuh di bibir cangkirku. Jangankan rindu, sekarang pun kamu kutunggu.’ 

Santi membalas pesan dan bangkit dengan bergairah lalu menghambur menemui Farid yang menunggunya di luar. Kekasihnya itu memang suka tidak memberi kabar sebelumnya, seperti sesuka angin membawanya ke mana saja. Farid memang mahasiswa seni, calon seniman yang gagal menjadi seniman ideal yang diidam-idamkannya. Seniman musik yang tersohor dan memiliki pengikut seperti kyai-kyai besar di Jawa. Sesungguhnya tidak membutuhkan ijazah sarjana seni untuk menjadi seniman, seperti yang ia jalani selama ini. Kegagalannya menjadi sarjana dari jurusan etnomusikologi tidak membuatnya putus asa. Farid bersama orang-orang yang senasib dengannya, mencoba membangun karir sekaligus penghidupan dengan bermain musik etnik dari satu tempat ke lain tempat, dari kota satu ke lain kota. Farid mengamen dengan ketrampilan musik yang ia miliki. 

Pertemuannya dengan Santi yang berlanjut dengan hubungan batin ke batin membawa Santi yang baru saja mentas dari pesisir selatan yang jumud ke dunia pencerahan dalam versi sudut pandang kehidupan Farid. Laki-laki awal tiga puluhan tahun yang sudah lebih banyak merasakan kunyit dan lengkuas perjalanan, dapat menawarkan pandangan dalam perspektif yang sangat menarik di depan Santi. Apalagi Farid seorang yang menggeluti seni, siapa yang tidak tertarik dengan keindahan seni? Seni berpikir, seni berbicara, seni menarik orang dengan alat-alat musik, seni menerima dan bertahan dari dentaman hidup. Bukankah semua itu jika menjadi perwujudan yang nampak atau dapat dirasakan akan sangat menariknya?

Bagi Farid, Santi adalah sesuatu entitas yang murni, belum tercampur dengan kepalsuan dan keduniawian yang semu dan penuh tambalan bedak dan gincu. Jika dahulu mereka bertemu di tempat yang tidak bersih di mata orang-orang, apakah akan menghalangi kesadaran yang tumbuh jika ketertarikan batin membawa mereka menikmati hari ke hari bersama? Mengukur jalan-jalan Yogyakarta, menghabiskan sebagian malam di antara orang-orang beraneka rupa, dan sesekali mampir di pinggir sawah melihat hamparan padi yang baru tumbuh.

“Kenapa Mas Farid suka melihat padi yang baru ditanam seperti ini? Bukankah lebih banyak yang suka melihat padi menguning dengan bulir-bulirnya yang sudah menunduk? Kata orang-orang tua itu sebuah filosofi lho Mas.” Tanya Santi suatu ketika saat Farid menghentikan motornya di tepi jalan di Tirtonirmolo dan memandang hamparan sawah di depannya.

“Karena aku bukan sebagian besar orang yang kamu maksudkan itu. Aku tahu, aku ini telah terbuang dari kumpulanku, dari kelompok dan masyarakatku. Seperti Chairil. Aku ini seperti penyair yang terbuang karena dianggap berlainan. Aku ini yang lain bagi mereka.”

“Bukankah semua manusia itu memang tidak sama?”

“Mereka itu sebagian besar sama lho, San. Aku tahu maksudmu itu barang kali lebih spesifik ke manusia sebagai individu. Tetapi kamu belum melihat dari jarak sedikit lebih jauh agar dapat melihat mereka dalam lingkarannya masing-masing. Saat mereka di dalam lingkaran masing-masing itu, setiap lingkaran memancarkan warna yang dapat kita lihat perbedaannya.”

“Aku belum mudeng, Mas. Pertanyaannya kan kenapa suka yang masih baru tumbuh?”

“Oh iya itu tadi pengantar singkatnya. Dan intinya karena cara pandangku berbeda dengan lingkaran sebagian besar orang yang suka melihat hasil, melihat sesuatu yang sudah jadi dan tinggal menikmati. Bukankah padi kalau sudah menguning sebentar lagi bisa dipanen? Aku suka melihat bagaimana segala sesuatu bermula, bagaimana sebuah hasil dimulai dari titik awal. Pada dasarnya aku suka dengan proses untuk menjadi, apapun hasilnya nanti.”

“Oh begitu, terus hubungannya dengan kita apa?”

Lihat selengkapnya