Latu menghentikan laju motornya, lantas turun dan melangkah gontai serta bergumam dengan suara rendah. Latu melompat ke dalam areal kebun, tidak jauh dari jalan yang menuju rumah Irmayani. Tangan kanannya menggenggam pisau dapur yang baru dibelinya di Pasar Jogoroto, sementara matanya mencari-cari di antara remang kegelapan. Dengan pisau selebar tiga jari itu, Latu lantas menghujam sebatang pohon pisang yang ada di dekatnya berpuluh kali. Kedua matanya menatap langit malam, yang dalam pandangannya seperti menyembunyikan sesuatu. Dari balik sisa pagar rumah Martono, Latu melampiaskan kecamuk yang menggelora di dalam dadanya, yang sudah bertahun-tahun menderanya di Jogoroto.
“Aku tidak lebih hina dari apa yang kalian hinakan! Dan ingatlah apa yang kalian hinakan, aku pun tidak pernah berhenti menjadi Latu dengan keringat dan tenagaku sendiri!”
Pohon pisang yang telah tumbang di tanah dan penuh luka tusuk dari pisau, Latu angkat dengan tangan kirinya, sejajar dengan tubuhnya yang berdiri tegak. Latu membuang pisau yang tadi tergenggam erat di tangan kanan dan mengepalkan tinjunya. Dengan mengayunkan sekuat tenaga, Latu menghantamkan kepalan tinju ke pohon pisang hingga hampir terbelah menjadi dua bagian. Tenaga dalam yang ditempa oleh kakeknya dan ulah kanuragan yang diikutinya ketika remaja, menjadi kekuatan yang membuat gerak seluruh anggota badannya seperti tidak terlihat, hanya nampak gerak gemulai penuh dengan misteri. Latu menatap dengan seksama batang pisang yang panjangnya sekitar dua meter itu. Bibirnya bergetar, rahangnya gemeretak.
“Sungguh tak ada bagusnya rupa wajahmu ini. Kedua kupingmu ini lancip, sementara bibirmu menggelambir. Hidungmu bengkok dan matamu juling sebelah, tetapi kau menyebut dirimu sebagai manusia penjaga kehormatan di desa ini! Apa kau pikir kami tidak tahu siapa kalian? Apa pikir kami akan tetap diam dan selamanya tunduk? Tidak!”
Latu menggigit batang pisang dengan gigi bagian depan, dan mengunyah serat pohon pisang dengan gigi-gigi gerahamnya. Ia mengunyahnya berkali-kali hingga serat batang pohon pisang yang masih basah dan berair itu lumat. Latu menelannya.
“Sekarang apa yang akan kamu pakai untuk melihat? Matamu yang sebelah telah lumat dalam ususku. Apa mata julingmu itu dapat membantumu melihat dengan hina lagi kepadaku?”
Sekecil apapun suara di tengah malam, seperti suara air dari selokan di dekat pagar, membuat malam memberikan kebebasan pada keheningan, menunjukkan sisi-sisi tak terduga di balik keremangan. Latu yang dikenal sebagai pemuda yang tidak memiliki sifat keras apalagi pemarah, dengan paras wajah yang cukup lembut itu, melampiaskan gelombang di dalam dadanya. Siapa dapat menyangka apa-apa yang di dalam dada manusia, bahkan jika itu manusia desa yang masih muda belia seperti Latu Darsono.
Prahara di kebun pisang bermula ketika Latu mengantar Irma pulang ke rumah ketika jam lepas angka sembilan. Latu dan Irma tinggal di desa yang sama, hanya berbeda lingkungan. Selain perbedaan lain yaitu pada status mereka. Latu adalah anak dari keluarga sebatang kara, sementara Irma anak dari Pak Leman, juragan tempe sekaligus mantan kepala desa. Antara kedua anak muda itu tidak ada hubungan khusus, setidaknya demikian di mata Latu. Tetapi bagi Irma, Latu merupakan sosok yang sering menghiasi angan-angannya.
Sayangnya, Latu lebih memilih menghindari Irma. Karena Irmayani yang keras kepala seperti orang tuanya, dan alasan yang hanya bisa dimengerti oleh perempuan, Irma tetap menempatkan Latu di dalam tujuan besarnya. Oleh sebab itu, Irma menempuh beberapa cara tersamar untuk mendekatkan upayanya pada hasil gemilang. Tidak ada yang menyangkal Irma memiliki paras yang menyenangkan, berwawasan lebih baik dibandingkan teman-temannya di Kaliawir, dan tentu saja sangat bercukupan dari segi materi duniawi. Tetapi orang tuanya jadi kendala terbesar bagi Irma sendiri.
Latu merupakan kakak kelas Irma, selisih dua tahun. Mereka sering bertemu di masjid tidak jauh dari tempat tinggal keduanya. Di masjid itu, mereka mengaji dalam setiap pekan, tiga malam pertemuan. Sementara malam-malam lain sering diisi kegiatan kemasyarakatan seperti arisan, hajatan dan kegiatan kepemudaan. Latu menjadi satu di antara beberapa pemuda yang menjadi pemimpin berbagai kegiatan-kegiatan masjid. Tidak mengherankan sebetulnya, karena sejak kecil, Latu sudah terlihat berbeda dari anak-anak lain sebayanya.
Sayangnya, nasib baik belum berpihak kepada Latu. Sejak kecil Latu ditinggal orang tuanya merantau ke luar negeri dan sampai sekarang tidak terdengar kabar beritanya, sementara ia tinggal bersama neneknya. Untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari, neneknya berjualan sayur di pasar. Memang sudah sejak dahulu mata pencaharian neneknya yang janda itu berjualan di pasar. Latu membantu dengan memanfaatkan apapun yang dapat tumbuh di tanah milik mereka di bukit yang terletak di ujung desa.
Jika dilihat luasnya, memang luas, hampir setengah bukit itu milik Mbah Mah dan yang setengahnya lagi milik Mbah Marwan dari Kalimati. Namun, semua permukaannya berbatu, hampir tidak ada yang dapat tumbuh di sana kecuali rerumputan liar dan beberapa tanaman keras. Meskipun di sebagian titik, bambu dan kayu jati dapat tumbuh, itu pun hanya terlihat seperti penghias di lereng bukit. Tanah itu, katanya tanah yang diberikan oleh Pangeran Arya dari Mataram pada buyutnya Latu sebagai pengikat dan ucapan terimakasih dalam menghadapi konflik dengan Belanda. Entah benar atau tidak asal muasal tanah milik Mbah Mah di Bukit Tolok itu, tanah itu sudah memiliki sertifikat resmi, bukan Petok D sebagaimana lazimnya tanah-tanah jaman dahulu dan tanah tak terurus. Tentu saja dengan golongan pajak paling rendah sesuai dengan nilai objek tanahnya.