Desas-desus akan dimulainya penambangan emas di Kaliawir dan lima kecamatan di sekitarnya, memang sudah lama terdengar. Isu itu bukan hanya dongeng yang meramaikan udara di atas tanah perbukitan dan bentang persawahan di Jogoroto. Ada yang menanggapi isu itu dengan cemas, ada juga yang menyambutnya dengan riang meski hanya di dalam hati, ada juga yang menanggapi dengan kebingungan dan tidak dapat menentukan sikap. Isu itu akhirnya menjadi kenyataan, eksplorasi sudah dimulai di dekat Bukit Tolok.
Bupati Jogoroto mengeluarkan sikap menolak izin penambangan. Orang-orang di desa-desa yang termasuk dalam wilayah penambangan mulai melakukan rapat-rapat yang digagas oleh tokoh-tokoh masyarakat dan pemuda yang menolak penambangan. Sutopo, sebagai tokoh masyarakat sekaligus Kepala Desa Kaliawir memang sudah sejak semula menolak kehadiran penambangan di desanya. Sikap penolakan itu senada dengan beberapa kepala desa di sekitar Kaliawir. Suara masyarakat yang muncul di permukaan adalah penolakan adanya aktivitas penambangan di seluruh wilayah yang masuk dalam rencana pengembangan tambang emas.
Eksplorasi yang sudah dilakukan pihak penambang pun terhenti dan tanpa ada tanda-tanda akan dilanjutkan ke tahap selanjutnya. Akan tetapi isu yang terdengar malah membuat masyarakat yang menolak penambangan menjadi resah, mereka mendengar bahwa izin sudah keluar di pusat dan provinsi. Artinya, tinggal menunggu waktu penambangan akan dimulai. Bagaimanapun, izin penambangan yang sudah keluar itu tentu tidak dapat dimentahkan dengan mudah oleh bupati dan lapisan struktural di bawahnya.
“Apa mereka tidak melihat dengan terang? Bagaimana analisis yang mereka lakukan sehingga mengeluarkan perizinan yang jelas-jelas kita tolak bersama?” kata Bupati Jogoroto di hadapan orang-orang Kaliawir dan gabungan masyarakat penolak penambangan saat dengar pendapat di halaman Pendopo Jogoroto.
“Pak Bupati harus mengambil sikap lebih tegas. Kami akan mendukung!”
“Kami tidak ingin kehilangan mata pencaharian kami di sini!”
“Kita tidak ingin direlokasi ke manapun. Ini tanah kelahiran kita!”
“Lebih baik hidup seadanya dari pada menerima kompensasi!”
Seruan dari orang-orang di hadapan bupati itu seperti tawon mendengung di atas sarang mereka. Mereka meluapkan keresahan bukan hanya melalui spanduk-spanduk yang bertuliskan berbagai kalimat-kalimat keras menolak penambangan emas di Jogoroto, tetapi juga dengan suara dari mulut mereka sendiri. Namun, luapan keresahan bercampur kemarahan itu pada dasarnya hanya seperti suara di dalam tempurung, sebab bupati mereka juga memiliki sikap yang sama, menolak penambangan dan tidak memiliki kewenangan yang lebih untuk melawan hierarki yang lebih tinggi dari kedudukannya.
“Bapak-bapak, Ibu-ibu, Saudara-saudaraku masyarakat Jogoroto sekalian.. percayalah, kami akan berusaha sebisa mungkin untuk memperjuangkan sikap penolakan kita ini kepada pusat dan provinsi sampai mereka menganulir atau membatalkan izinnya!”
Sutopo nampak senang mendengar penjelasan dari bupatinya. Bersama dengan kepala desa dari desa-desa yang masuk dalam peta rencana penambangan, Sutopo mendekat ke Bupati dan menyampaikan petisi penolakan yang sudah ditandatangani semua kepala desa. Ahmad Syukur bersama Latu dan Darman yang turut ke pendopo juga terlihat menyimpan harapan dari upaya mereka menolak penambangan di desa mereka.