AMUK

Aziz Abdul Gofar
Chapter #10

Anak-anak Kaliawir

Pada akhir pekan, Irma pulang. Meski tidak setiap akhir pekan Irma pulang ke Kaliawir, biasanya dalam satu bulan Irma pulang ke rumah satu atau dua kali. Irmayani tidak jauh berbeda dengan anak perempuan lain yang sedang menempuh pendidikan tingginya di salah satu perguruan tinggi di Tulungagung. Bisa dikatakan lebih baik nasibnya dibandingkan dengan anak-anak perempuan lain di Kaliawir, misalnya dibandingkan dengan nasib Santi. Irma memang anak orang yang cukup dalam perekonomian, anak mantan kepala desa yang memiliki usaha yang lancar dan tentu saja memiliki status sosial lebih baik.

Lasmi yang biasanya tetap bersama para pekerja membuat tahu dan tempe saat anak perempuannya pulang, sore itu ia membawa Irma ke dalam kamar. Irma mengira jika ibunya sedang bertengkar dan ingin menceritakan atau mencari dukungan kepadanya. Namun, dugaan itu tidak benar seluruhnya. Lasmi ingin mencari tahu perkembangan isu penambangan yang sudah ramai dan kabarnya akan segera dimulai. Irma, sebagai mahasiswa tentu memiliki lebih banyak informasi yang beredar di luar Jogoroto.

“Nduk, apa yang sudah kamu dengar soal penambangan yang sedang ramai ini? Apa kalian di kampus juga membicarakan perkembangan di sini?” Lasmi mendekap tangan Irma.

“Loh, ada apa? Mengapa Ibu seperti khawatir seperti ini?”

Lasmi menceritakan dari hal terkecil yang ia ketahui soal penambangan emas yang akan dimulai, penolakan orang-orang Kaliawir dan orang-orang dari desa dan kecamatan lain yang termasuk wilayah pengembangan tambang, orang-orang yang datang bertamu kemarin lusa dan pembicaraan dengan suaminya yang membuatnya dalam posisi serba bingung.

“Menurutmu, sebaiknya bagaimana Nduk? Apa kamu mau kita pindah ke kota?”

Irma terbelalak. Ia tidak menyangka jika keluarganya sudah memasuki pusaran konflik akibat kehadiran penambangan emas di daerahnya. Selama ini, mereka menolak dengan cara unjuk rasa, membangun posko atau melakukan rapat-rapat dengan berbagai pihak terkait, tetapi yang ditemukannya sekarang justru begitu dekatnya.

“Bukan persoalan Irma mau atau tidak pindah ke kota,” Irma menarik nafas pelan.

Irma mengatakan dengan terus terang kepada Ibunya jika sejak dahulu ia lebih memilih bersama orang-orang yang menentang adanya tambang, seperti para pemuda masjid lainnya. Irma menduga, jika kedua orang tuanya akan memilih sikap seperti kebanyakan orang, bukan malah mendukung dan akan membuat gelombang tandingan. 

“Apa karena Latu?” selidik Lasmi.

Irma menengok ke arah Lasmi dan berpindah duduk ke kursi di dekat jendela kamar.

“Teman-teman di masjid semua menolak. Begitu pula dengan teman-teman di kampus, mereka banyak yang menolak. Dan Irma menjadi bagian dari mereka.”

“Sebetulnya Ibumu ini menurut saja apa yang menjadi keinginan Bapakmu. Lagi pula, kehidupan di sini seperi berjalan di tempat. Mungkin, dengan pindah ke Jogoroto, kita akan dapat membawa kehidupan kita lebih hidup dan tentunya menjadi lebih baik.”

“Jika seperti itu, bukankah Ibu tidak perlu bertanya seperti tadi?”

“Maksudmu seperti apa Nduk? Bukankah Ibu ingin mengetahui lebih jelas.”

“Ibu bertanya untuk mengetahui perkembangan di luar sana, tetapi sekarang Ibu pada kenyataannya tidak membutuhkan bagaimana perkembangan yang Ibu tanyakan tadi. Sebab, Ibu pada akhirnya juga akan menuruti kemauan Bapak untuk mendukung dan pindah ke kota.”

“Apa itu tidak lebih bagimu juga Nduk? Apa kamu ingin kita tetap di sini?”

“Aku sebetulnya tidak masalah kalau kita pindah ke kota. Lagi pula akan menjadi lebih dekat ke kampus. Tetapi aku tidak dapat menerima jika kita menjadi bagian dari orang-orang yang diam-diam melawan arus besar orang-orang yang menentang tambang. Mereka itu para tetangga kita, saudara-saudara kita, teman-teman Irma dan orang-orang dari desa lainnya.”

“Ibu tahu kamu kecewa dengan kami karena sikap Bapakmu tempo hari.”

Lihat selengkapnya